Kamis, 16 Juni 2016

Integritas Ilmuwan & Tanggung Jawab PT

Oleh: Ach. Syaiful A’la
Dosen FTK & Kandidat Doktor UIN Sunan Ampel Surabaya
Judul di atas sengaja penulis pilih dalam rangka “sedikit” refleksi bersama guna menjawab persoalan yang tengah dihadapi bangsa akhir-akhir ini sejak krisis moneter pada masa pemerintahan Orde Baru, krisis kepemimpinan disana-sini, konflik yang berbau SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), komunikasi politik yang tidak sehat hingga persoalan merebahnya kasus korupsi yang setiap hari terus menghiasi halaman depan media massa. Yang mengejutkan, jika kita saksikan yang terlibat dalam masalah-masalah (korupsi) tersebut bukanlah dari kalangan orang tidak berpendidikan, melainkan dari kalangan orang yang sudah berpendidikan tinggi, tentunya sudah tahu apa itu kebijakan dan bahkan sebagai alumni dari kampus yang terkenal. Dalam konteks ini, bahwa kemajuan pendidikan selama ini tidak berbanding lurus dengan persoalan yang sedang dihadapi bangsa dan bahkan menjadi “beban” dari perjalanan bangsa itu sendiri.
Problem Kebangsaan
Menarik ketika menyimak berita di beberapa koran yang mengusung kritikan beberapa perguruan tinggi terhadap Marzukie Ali yang membuat pernyataan – dianggap kontroversial – bahwa pelaku koruptor di negeri adalah alumni perguruan terkenal dalam sebuah acara seminar saat dirinya sebagai salah satu pembicara yang bertajuk “Pandangan Kritis tentang Pendidikan Tinggi di Indonesia: Cita dan Realita” yang diselenggarakan oleh Universitas Indonesia (Jawa Pos, 7/5/2012).
Sebagai lembaga pendidikan, perguruan tinggi tentunya tidak hanya memberikan, membuka dan memberikan jaminan peluang kerja kepada alumninya ditengah tuntutan dunia kerja dan pragmatisme dunia pendidikan, lebih dari itu institusi pendidikan tinggi disamping ikut menyumbangkan kemajuan dan pemerataan pendidikan di tanah air juga mempunyai tanggung jawab terhadap anak didiknya (mahasiswa) selama menempuh pendidikan hingga ia menekuni suatu bidang usaha atau karir tertentu. Karena sikap yang ditampilkan oleh alumni pada lembaga pendidikan merupakan cerminan atas kualitas dan budaya pendidikan pada lembaga tersebut (baca: Veitzal).
Ketika Marzukie Ali membuat pernyataan yang dianggap kontroversial, bahwa banyaknya pelaku koruptor saat ini merupakan lulusan –setidaknya pernah mengenyam- lembaga pendidikan tinggi tertentu itu memang tidak salah dan ada benarnya. Ini bisa dilihat latar belakang pendidikan dari pelaku penyelewengan kekayaan negara (koruptor) adalah orang-orang yang berpendidikan (mempunyai ijazah) tinggi. Dengan demikian berarti ada yang salah dengan praktek pendidikan kita di Indonesia.
Pendidikan Para Filosof
Dalam sebuah buku yang berjudul Philosophies Reflection for Education, karya Char Lee Tan, ia mengulas gaya pendidikan seorang filosof Yunani, Socrates ketika memberikan materi ajar kepada murid-muridnya. Maka terdapat tiga hal yang ditekankan untuk keberlangsungan pendidikan bagi anak didik dan generasi “baik” selanjutnya, yaitu: spiritual in student, virtues dan inquiry. Dalam konsep Socrates, penanaman kecerdasan hati (spiritual in student) terhadap anak didik menempati hal yang paling pertama dan utama dalam dunia pendidikan agar alumninya tidak menyimpang dengan garis yang memang menjadi tujuan dari pendidikan. Setelah penanaman spiritual sudah mapan, tahapan kedua adalah diajarkan dan ditanamkan nilai-nilai virtues (kebijakan) sebagai bentuk terjemahan dari yang pertama. Sementara prosesinquiry,seperti pengembangan aspek psikomotorik termasuk juga dengan keterampilan yang lain (skill) merupakan tahapan pendukung berikutnya setelah anak didik dimantapkan terlebih dulu hatinya dan masuknya nilai-nilai kebijaksanaan. Ketika penanam prinsip pada anak didik sudah kokoh, maka bisa dilanjutkan dengan beberapa pengembangan keilmuan yang lain.
Adanya kasus seperti korupsi di negeri ini yang dialakukan oleh pejabat yang berlatar pendidikan tinggi bukannya tidak tahu bahwa apa yang ia lakukan tidak benar dan merugikan orang lain (negara), tapi karena proses penanaman nilai-nilai spiritual dalam pendidikan mereka lemah sehingga melakukan kegiatan korupsi dianggap sebagai suatu hal yang legal dan sah menurut dirinya sendiri.
Proses pendidikan adalah perbaikan menuju manusia yang paripurna (insan kamil, fi al-ilmi wa al-amal), peka terhadap kondisi sosial, sebagai aktor perubahan (agent of change) dan menjadi kontrol terhadap kebijakan yang tidak pro terhadap rakyat serta berbagai macam ketimpangan dalam masyarakat. Dalam prakteknya, tidak sedikit (untuk tidak mengatakan banyak) lulusan pendidikan tinggi yang semakin jauh dari dasar tujuan dan fungsi pendidikan. Tujuan pendidikan menurut Paolo Preire adalah memanusiakan manusia, dengan pendidikan orang semakin tinggi derajatnya, memiliki kebebasan individu, semakin peka terhadap kondisi sosial masyarakat dan memiliki semangat pengabdian yang tinggi (baca: Fathullah Gulen tentang hizmet). Tetapi keluaran lembaga pendidikan kita jauh sebaliknya, mereka melakukan kebajikan layaknya orang yang tidak mengenyam pendidikan sama sekali. Padahal ketika terbukti melakukan kesalahan ia berasal dari latar belakang pendidikan tinggi seperti sarjana, magsiter, doktor bahkan ada yang profesor dan lembaga yang bisa dikatakan favorit.
Sanksi Lembaga pada Alumninya
Setiap lembaga pendidikan termasuk pendidikan tinggi tidak mungkin mengajari hal-hal yang negatif terhadap anak didiknya selama proses pendidikan karena itu telah keluar dari kodrat pendidikan secara umum. Para lulusan (ulumni) yang melakukan tindak korupsi berarti tidak bisa secara langsung menyalahkan lembaga sebagai penyelenggara pendidikan, tetapi perlu dilihat latar belakang mereka terlebih dahulu dari berbagai aspek.
Lembaga pendidikan termasuk juga perguruan tinggi hendaknya juga bertanggung jawab terhadap keberadaan alumninya. Ada semacam ikatan dan kontrol terhadap alumni agar ketika alumni melakukan suatu hal tindakan yang salah, maka lembaga bisa memberi peringatan terlebih dahulu. Taruhannya kalau sampai terjadi ada alumni sengaja berbuat suatu kejelekan maka jelas yang ternodai juga adalah citra lembaga di masyarakat. Dan orang akan menilai ketika banyak alumni dari suatu lembaga terjangkit banyak kasus maka proses pendidikan bisa dikatakan gagal dalam lembaga pendidikan dimaksud.
Sanksi lembaga terhadap para alumninya yang sengaja membuat lembaga tersebut tercemar akibat kesengajaan perbuatannya adalah dengan cara mencabut gelar akademik yang diperolehnya. Dengan demikian, akhirnya para alumni juga bisa hati-hati dan mikir untuk melakukan kebajikan karena berakibat terhadap citra lembaga tercintanya dan juga menjadi taruhan untuk karir dirinya selanjutnya. Adanya sanksi demikian bisa membuat orang jera dan tumbuh kesadaran bersama ditengah terpuruknya bangsa dalam multi krisis saat ini.
Dari Paradigma Objektif ke Subjektif
Munculnya problem secara spesifik oleh bangsa Indonesia itu sendiri sebagai dampak meningkatknya situasi ketidakadilan global sebagai akibat dari ideologi oppressif, exploitatif dan konsumeritis, telah terjadi bias ideologi dalam teori sosilogi, politik, pendidikan, dan semakin jauhnya ilmu-ilmu sosial turut menyelesaikan masalah kemanusiaan. Contoh dalam bidang pendidikan, jika semakn tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin peka terhadap kondisi social masyarakat malah terjadi yang sebaliknya. Ia justru menjauh dan semakin elitis. Dalam situasi demikian, kalangan professional (akademisi dan kelompok terdidik) hendaknya bisa merubah paradigma, yang semula menjaga jarak dengan realitas (objektif) kini saatnya berpihak kepada kepentingan-kepentingan masyarakat (subektif). Jika selama ini beberapa kegiatan akademik, seperti penelitian digunakan untuk kepentingan dirinya, tidak hanya melakukan berdebatan antara kualitatif dan kuantitatif, lebih dari itu bisa berubah menjadi Participatory Action Research (PAR) yang pada gilirannya akan terjadi sinergi antara ilmuan (di kampus) dan komunitasnya sehingga kalangan ilmuan bukan sesuatu yang asing kehadirannya di hadapan mereka.
Dari paradigma di atas, maka pengembangan keilmuan yang dibangun menekankan pada tarap “produksi” bukan hanya sekedar “reproduksi”. Maka, apa yang menjadi diskusi di kampus bisa playing program, sehingga semuastakeholder pendidikan tinggi yang ada (masyarakat, mahasiswa, orang tua peserta didik) saat ini tidak hanya sekedar pengguna (user) yang lepas kendali melainkan sebagai mitra dari lembaga pendidikan tinggi itu sendiri.
Referensi :http://www.uinsby.ac.id/kolom/id/19/integritas-ilmuwan-tanggung-jawab-pt

0 komentar:

Posting Komentar