Kamis, 16 Juni 2016

Integritas Ilmuwan & Tanggung Jawab PT

Oleh: Ach. Syaiful A’la
Dosen FTK & Kandidat Doktor UIN Sunan Ampel Surabaya
Judul di atas sengaja penulis pilih dalam rangka “sedikit” refleksi bersama guna menjawab persoalan yang tengah dihadapi bangsa akhir-akhir ini sejak krisis moneter pada masa pemerintahan Orde Baru, krisis kepemimpinan disana-sini, konflik yang berbau SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), komunikasi politik yang tidak sehat hingga persoalan merebahnya kasus korupsi yang setiap hari terus menghiasi halaman depan media massa. Yang mengejutkan, jika kita saksikan yang terlibat dalam masalah-masalah (korupsi) tersebut bukanlah dari kalangan orang tidak berpendidikan, melainkan dari kalangan orang yang sudah berpendidikan tinggi, tentunya sudah tahu apa itu kebijakan dan bahkan sebagai alumni dari kampus yang terkenal. Dalam konteks ini, bahwa kemajuan pendidikan selama ini tidak berbanding lurus dengan persoalan yang sedang dihadapi bangsa dan bahkan menjadi “beban” dari perjalanan bangsa itu sendiri.
Problem Kebangsaan
Menarik ketika menyimak berita di beberapa koran yang mengusung kritikan beberapa perguruan tinggi terhadap Marzukie Ali yang membuat pernyataan – dianggap kontroversial – bahwa pelaku koruptor di negeri adalah alumni perguruan terkenal dalam sebuah acara seminar saat dirinya sebagai salah satu pembicara yang bertajuk “Pandangan Kritis tentang Pendidikan Tinggi di Indonesia: Cita dan Realita” yang diselenggarakan oleh Universitas Indonesia (Jawa Pos, 7/5/2012).
Sebagai lembaga pendidikan, perguruan tinggi tentunya tidak hanya memberikan, membuka dan memberikan jaminan peluang kerja kepada alumninya ditengah tuntutan dunia kerja dan pragmatisme dunia pendidikan, lebih dari itu institusi pendidikan tinggi disamping ikut menyumbangkan kemajuan dan pemerataan pendidikan di tanah air juga mempunyai tanggung jawab terhadap anak didiknya (mahasiswa) selama menempuh pendidikan hingga ia menekuni suatu bidang usaha atau karir tertentu. Karena sikap yang ditampilkan oleh alumni pada lembaga pendidikan merupakan cerminan atas kualitas dan budaya pendidikan pada lembaga tersebut (baca: Veitzal).
Ketika Marzukie Ali membuat pernyataan yang dianggap kontroversial, bahwa banyaknya pelaku koruptor saat ini merupakan lulusan –setidaknya pernah mengenyam- lembaga pendidikan tinggi tertentu itu memang tidak salah dan ada benarnya. Ini bisa dilihat latar belakang pendidikan dari pelaku penyelewengan kekayaan negara (koruptor) adalah orang-orang yang berpendidikan (mempunyai ijazah) tinggi. Dengan demikian berarti ada yang salah dengan praktek pendidikan kita di Indonesia.
Pendidikan Para Filosof
Dalam sebuah buku yang berjudul Philosophies Reflection for Education, karya Char Lee Tan, ia mengulas gaya pendidikan seorang filosof Yunani, Socrates ketika memberikan materi ajar kepada murid-muridnya. Maka terdapat tiga hal yang ditekankan untuk keberlangsungan pendidikan bagi anak didik dan generasi “baik” selanjutnya, yaitu: spiritual in student, virtues dan inquiry. Dalam konsep Socrates, penanaman kecerdasan hati (spiritual in student) terhadap anak didik menempati hal yang paling pertama dan utama dalam dunia pendidikan agar alumninya tidak menyimpang dengan garis yang memang menjadi tujuan dari pendidikan. Setelah penanaman spiritual sudah mapan, tahapan kedua adalah diajarkan dan ditanamkan nilai-nilai virtues (kebijakan) sebagai bentuk terjemahan dari yang pertama. Sementara prosesinquiry,seperti pengembangan aspek psikomotorik termasuk juga dengan keterampilan yang lain (skill) merupakan tahapan pendukung berikutnya setelah anak didik dimantapkan terlebih dulu hatinya dan masuknya nilai-nilai kebijaksanaan. Ketika penanam prinsip pada anak didik sudah kokoh, maka bisa dilanjutkan dengan beberapa pengembangan keilmuan yang lain.
Adanya kasus seperti korupsi di negeri ini yang dialakukan oleh pejabat yang berlatar pendidikan tinggi bukannya tidak tahu bahwa apa yang ia lakukan tidak benar dan merugikan orang lain (negara), tapi karena proses penanaman nilai-nilai spiritual dalam pendidikan mereka lemah sehingga melakukan kegiatan korupsi dianggap sebagai suatu hal yang legal dan sah menurut dirinya sendiri.
Proses pendidikan adalah perbaikan menuju manusia yang paripurna (insan kamil, fi al-ilmi wa al-amal), peka terhadap kondisi sosial, sebagai aktor perubahan (agent of change) dan menjadi kontrol terhadap kebijakan yang tidak pro terhadap rakyat serta berbagai macam ketimpangan dalam masyarakat. Dalam prakteknya, tidak sedikit (untuk tidak mengatakan banyak) lulusan pendidikan tinggi yang semakin jauh dari dasar tujuan dan fungsi pendidikan. Tujuan pendidikan menurut Paolo Preire adalah memanusiakan manusia, dengan pendidikan orang semakin tinggi derajatnya, memiliki kebebasan individu, semakin peka terhadap kondisi sosial masyarakat dan memiliki semangat pengabdian yang tinggi (baca: Fathullah Gulen tentang hizmet). Tetapi keluaran lembaga pendidikan kita jauh sebaliknya, mereka melakukan kebajikan layaknya orang yang tidak mengenyam pendidikan sama sekali. Padahal ketika terbukti melakukan kesalahan ia berasal dari latar belakang pendidikan tinggi seperti sarjana, magsiter, doktor bahkan ada yang profesor dan lembaga yang bisa dikatakan favorit.
Sanksi Lembaga pada Alumninya
Setiap lembaga pendidikan termasuk pendidikan tinggi tidak mungkin mengajari hal-hal yang negatif terhadap anak didiknya selama proses pendidikan karena itu telah keluar dari kodrat pendidikan secara umum. Para lulusan (ulumni) yang melakukan tindak korupsi berarti tidak bisa secara langsung menyalahkan lembaga sebagai penyelenggara pendidikan, tetapi perlu dilihat latar belakang mereka terlebih dahulu dari berbagai aspek.
Lembaga pendidikan termasuk juga perguruan tinggi hendaknya juga bertanggung jawab terhadap keberadaan alumninya. Ada semacam ikatan dan kontrol terhadap alumni agar ketika alumni melakukan suatu hal tindakan yang salah, maka lembaga bisa memberi peringatan terlebih dahulu. Taruhannya kalau sampai terjadi ada alumni sengaja berbuat suatu kejelekan maka jelas yang ternodai juga adalah citra lembaga di masyarakat. Dan orang akan menilai ketika banyak alumni dari suatu lembaga terjangkit banyak kasus maka proses pendidikan bisa dikatakan gagal dalam lembaga pendidikan dimaksud.
Sanksi lembaga terhadap para alumninya yang sengaja membuat lembaga tersebut tercemar akibat kesengajaan perbuatannya adalah dengan cara mencabut gelar akademik yang diperolehnya. Dengan demikian, akhirnya para alumni juga bisa hati-hati dan mikir untuk melakukan kebajikan karena berakibat terhadap citra lembaga tercintanya dan juga menjadi taruhan untuk karir dirinya selanjutnya. Adanya sanksi demikian bisa membuat orang jera dan tumbuh kesadaran bersama ditengah terpuruknya bangsa dalam multi krisis saat ini.
Dari Paradigma Objektif ke Subjektif
Munculnya problem secara spesifik oleh bangsa Indonesia itu sendiri sebagai dampak meningkatknya situasi ketidakadilan global sebagai akibat dari ideologi oppressif, exploitatif dan konsumeritis, telah terjadi bias ideologi dalam teori sosilogi, politik, pendidikan, dan semakin jauhnya ilmu-ilmu sosial turut menyelesaikan masalah kemanusiaan. Contoh dalam bidang pendidikan, jika semakn tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin peka terhadap kondisi social masyarakat malah terjadi yang sebaliknya. Ia justru menjauh dan semakin elitis. Dalam situasi demikian, kalangan professional (akademisi dan kelompok terdidik) hendaknya bisa merubah paradigma, yang semula menjaga jarak dengan realitas (objektif) kini saatnya berpihak kepada kepentingan-kepentingan masyarakat (subektif). Jika selama ini beberapa kegiatan akademik, seperti penelitian digunakan untuk kepentingan dirinya, tidak hanya melakukan berdebatan antara kualitatif dan kuantitatif, lebih dari itu bisa berubah menjadi Participatory Action Research (PAR) yang pada gilirannya akan terjadi sinergi antara ilmuan (di kampus) dan komunitasnya sehingga kalangan ilmuan bukan sesuatu yang asing kehadirannya di hadapan mereka.
Dari paradigma di atas, maka pengembangan keilmuan yang dibangun menekankan pada tarap “produksi” bukan hanya sekedar “reproduksi”. Maka, apa yang menjadi diskusi di kampus bisa playing program, sehingga semuastakeholder pendidikan tinggi yang ada (masyarakat, mahasiswa, orang tua peserta didik) saat ini tidak hanya sekedar pengguna (user) yang lepas kendali melainkan sebagai mitra dari lembaga pendidikan tinggi itu sendiri.
Referensi :http://www.uinsby.ac.id/kolom/id/19/integritas-ilmuwan-tanggung-jawab-pt

Refleksi Hari Ibu ; peran Ibu, antara ruang domestik dan ruang publik

Hj.Siti Azizah S.Ag M.Si
Dosen Sosiologi FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya
Setiap tanggal 22 Desember bangsa Indonesia memperingati hari Ibu s, sejarah Hari Ibu sendiri diawali dari adanya pertemuan para pejuang wanita dengan mengadakan Kongres Perempuan Indonesia I pada 22-25 Desember1928 di Yogyakarta yang bertujuan untuk menyatukan pikiran dalam berjuang menuju kemerdekaan dan memperbaiki nasib kaum perempuan Indonesia . Kongres tersebut dihadiri oleh sekitar 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatera. Hasil dari kongres tersebut salah satunya adalah membentuk Kongres Perempuan yang kita kenal sekarang dengan Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Hari Ibu ditetapkan tanggal 22 Desember melalui dekrit presiden Soekarno No 316 tahun 1959 dan dirayakan secara nasional setiap tahun.
Momentum Hari Ibu kita jadikan sebagai refleksi tentang peran perempuan dalam keluarga dan ruang publik. Pada dasawarsa terakhir ini dalam komunitas dan sektor tertentu perempuan telah mendapatkan tempat yang berarti di tengah masyarakat, tetapi secara makro perempuan masih berhadapan dengan berbagai masalah. Adanya persepsi tentang peran ganda seorang perempuan, walaupun dia bekerja di sector public tetapi tetap dituntut untuk menyediakan waktu di sector domestik yaitu peran sebagai ibu, sebagai isteri, dan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga lainnya tetap dibebankan kepada kaum perempuan.
Munculnya peran ganda perempuan sebenarnya bermula dari adanya pembagian kerja secara seksual yang mana peran perempuan pada sektor domestik sedangkan laki-laki pada sektor publik. Ketika perempuan mulai masuk ke sector publik maka muncullah peran ganda perempuan dengan segala permasalahannya, hal ini disebabkan karena walaupun perempuan telah masuk dalam dunia publik ia masih tetap mempunyai tanggung jawab penuh di sektor domestik. Jadi walaupun mereka bekerja di luar rumah , tetapi tugas-tugas rumah tangga tetap di pegang isteri, seorang suami dianggap tabu kalau harus mencuci, memasak ataupun mengasuh anak karena dianggap pekerjaan tersebut adalah pekerjaan perempuan.
Keterlibatan perempuan dalam ruang publik merupakan peran ganda yang bisa juga berarti beban ganda, seringkali dikatakan bahwa peran ganda dapat diatasi dengan proses pembagian kerja di sektor domestik antara suami dan isteri. Tetapi yang menjadi pertanyaan apakah kita bisa dengan mudah dapat melakukan proses domestifikasi terhadap laki-laki karena ini akan berbenturan dengan budaya yang sudah mengakar dalam masyarakat yaitu budaya patriakhi. Persoalan ini menurut Abdullah tidak sesederhana itu karena yang harus ditaklukkan dalam pengurangan beban perempuan tidak hanya laki-laki, tetapi juga keluarga luas dan masyarakat secara umum yang telah menerima pembagian peran berdasarkan gender sebagai realitas obyektif. Keterlibatan laki-laki dalam bidang publik dan perempuan dalam bidang domestik merupakan realitas obyektif yang telah diterima sebagai sesuatu yang baku. Usaha mengubah semua itu merupakan usaha mendekonstruksi bangunan sosial budaya yang kemudian membutuhkan kesadaran di dalam rekonstruksi obyektif yang baru. ( Irwin, Abdullah, 2001, 198). Dan tentunya perlu waktu yang panjang untuk merekonstruksi budaya tersebut dan juga harus ada kesadaran dari kaum laki-laki bahwa dalam keluarga antara suami dan isteri adalah mitra sejajar bukan hubungan secara hierarkis.
Secara biologis perempuan dan laki-laki adalah makhluk yang berbeda, perbedaan itu menghasilkan asumsi bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah, tidak berdaya dan mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap suami. Namun pada tataran realitas ternyata perempuan bukanlah makhluk yang lemah , ketika mereka harus menjalani dua pekerjaan secara sekaligus yaitu di sector publik dan domestik, tentunya mereka harus mempunyai tenaga yang ekstra kuat yang belum tentu dapat dilakukan oleh laki-laki, hampir 24   jam waktu mereka curahkan untuk menjalani dua pekerjaan tersebut. Seperti asumsi yang berkembang di era sekarang ini yang mengatakan bahwa perempuan yang ideal adalah perempuan yang mampu menjadi superwomen yaitu yang memiliki kapasitas dan kapabilitas yang dapat mengisi ruang publik dan domestik secara sempurna. Menjadi sangat tidak adil ketika perempuan harus menjalankan kedua peran tersebut secara sekaligus, sedangkan laki-laki kenapa tidak dituntut untuk memerankan peran yang sama seperti tuntutan terhadap perempuan?. Ketika kita menuntut hal yang sama terhadap laki-laki tentunya tidak dapat dilakukan dengan mudah dan perlu waktu yang cukup banyak untuk dapat merealisasikannya karena hal ini menyangkut budaya yang ada yang telah mengakar di tengah masyarakat.
Proses marginalisasi terhadap perempuan juga sangat dipengaruhi oleh institusi keluarga, sekolah, media massa. Dalam pendidikan tingkat dasar pada waktu dulu saja, kita telah menemukan banyak ketimpangan gender, entah di sengaja atau tidak.   Hal ini tercermin dalam pelajaran Bahasa Indonesia, yang sering memberikan ilustrasi ketimpangan gender, seperti “Budi membantu ayah di sawah, sedangkan Wati membantu ibu di dapur”. Ayah pergi ke kantor dan Ibu pergi ke Pasar. Pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di sebutkan bahwa tugas Ayah adalah mencari nafkah dan ibu mengurus rumah tangga. Secara implisit, pelajaran tersebut menyiratkan pesan perbedaan gender yang sangat mendasar antara laki-laki dan wanita dalam relitas sosial.
Ketimpangan gender sesungguhnya ditegaskan secara terus menerus oleh struktur sosial yang patriarkal. Wanita yang baik cenderung harus “mengalah , manut, nrimo dan pasrah” kepada suami dalam suatu struktur interaksi dalam keluarga. Istri yang yang sempurna seringkali digambarkan sebagai isteri yang selalu melayani dan mengabdi kepada suami nya, mengurus rumah tangga serta anak-anaknya. Ketika anak melakukan kesalahan maka yang seringkali disalahkan adalah ibunya yang dianggap tidak bisa mendidik anak. Kegiatan publik bukanlah dunia perempuan, dunia perempuan tetap dalam rumah tangga sehingga menjadi wanita ideal adalah menjadi ibu rumah tangga yang baik.
Di moment peringatan hari ibu ini , kita konstruksikan kembali bagaimana idealnya seorang perempuan atau ibu, kita perlu memberikan apresiasi kepada kaum ibu dan mendudukkan  mereka sebagai makhluk Tuhan yang paling berjasa dalam kehidupan kita. Dari kaum ibulah lahir generasi penerus bangsa dan kesuksesan seorang suami dalam karier juga ditunjang oleh peran seorang isteri. Peran seorang perempuan tentu sangat penting dalam keluarga, mereka sebagai madrasatul ‘ula, karena pendidikan anak, pertama didapat dari seorang ibu dari dalam kandungan sampai anak dilahirkan dan tumbuh kembang menjadi dewasa, namun   dalam mendidik anak tidak hanya tugas dan tanggung jawab ibu saja, tetapi dalam keluarga ayahpun mempunyai kewajiban yang sama dalam pendidikan anak. Tidak semestinya lagi peran domestik harus di kerjakan penuh oleh perempuan, sebagai makhluk Tuhan perempuan pun mempunyai hak yang sama di ruang publik, mereka berhak untuk meraih pendidikan yang tinggi, mereka berhak untuk mengembangkan diri dan mendapatkan pekerjaan di sector publik sama seperti laki-laki. Perempuan bukanlah the second people, karena secara kapabilitas perempuan tidak kalah dengan laki-laki.
Di zaman sekarang ini dengan adanya gerakan gender seharusnya ketimpangan gender tidak terjadi lagi, perempuan tidak harus selalu dinomerduakan. Perempuan dan laki-laki mempunyai potensi dan peluang yang sama dalam sektor publik dan sebagai mitra sejajar, potensi perempuan sebagai mitra sejajar laki-laki harus dimaknai sebagai kebersamaan dalam mengatur kehidupan bersama. Dalam Harmona Daulay dikatakan bahwa prinsip pembagian kerja secara seimbang adalah suatu prinsip adanya suatu hubungan yang egaliter antara suami dan isteri, pola pembagian kerja seperti ini tidak membedakan gender, tetapi tergantung pada kebutuhan dan tersedianya waktu yang tercurahkan. Pada hubungan ini proses kerjasama dan tolong menolong demikian kuatnya sehingga membentuk suatu tim yang kompak sehingga akan terjadi keharmonisan dan kesetaraan gender.
Referensi:http://www.uinsby.ac.id/kolom/id/10/refleksi-hari-ibu-peran-ibu-antara-ruang-domestik-dan-ruang-publik

PEMBAKAR SEMANGAT BUKAN PENGHAMBAT

فَقَٰتِلۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ لَا تُكَلَّفُ إِلَّا نَفۡسَكَۚ وَحَرِّضِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَۖ عَسَى ٱللَّهُ أَن يَكُفَّ بَأۡسَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْۚ وَٱللَّهُ أَشَدُّ بَأۡسٗا وَأَشَدُّ تَنكِيلٗا ٨٤
Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri. Kobarkanlah semangat para mukmin (untuk berperang). Mudah-mudahan Allah menolak serangan orang-orang yang kafir itu. Allah amat besar kekuatan dan amat keras siksaan(-Nya) (QS. An Nisa’ [04]:84).

            Untuk menjelaskan ayat ini, Anda harus mengaitkan dengan ayat sebelumnya, khususnya QS. An Nisa’ ayat 74:“Dan sungguh di antara kamu ada orang yang sangat berlambat-lambat (ke medan perang). Maka jika kamu ditimpa musibah ia berkata, "Sungguh Tuhan telah menganugerahkan nikmat kepada saya karena saya tidak ikut berperang bersama mereka.” Yang disebut dalam ayat 74 ini adalah penduduk Madinah yang bersikap dingin, bahkan secara terang-terangan menyatakan enggan memenuhi ajakan Nabi SAW ke medan perang Badar. Maka ayat ini turun untuk mengingatkan Nabi SAW agar tidak terpengaruh dengan sikap pasip mereka dan agar tetap berangkat perang sekalipun sendirian.  
            Betapa berat tugas dan tanggungjawab Nabi SAW. Ia tidak boleh mundur selangkahpun atau kehilangan semangat hanya karena ulah para pengecut. Sebab, tugas kepemimpinan dibebankan hanya kepada Nabi, bukan pada pundak orang lain. Menurut Ar Razi, ayat ini menunjukkan keperkasaan Nabi SAW, sebab andaikan tidak perkasa, tentu Allah SWT tidak menyuruh berangkat perang sendirian.
            Nabi SAW juga dikenal sebagai tauladan dan pembakar semangat para sahabat. Anda tentu ingat ucapan Nabi SAW yang terkenal untuk menyemangati tentara perang Uhud, ”Jika seorang Rasul telah mengenakan pakaian perang, pantang baginya menanggalkannya sebelum Allah SWT menentukan siapa yang menang di antara dua pasukan.”
            Ayat di atas juga ada kaitannya dengan QS. Ali Imran ayat 173 yang diturunkan Allah setelah perang Uhud. Pada saat itu, Abu Sufyan, tokoh pasukan kafir menantang Nabi untuk perang kembali tahun berikutnya. ”Baiklah, kita akan bertemu di medan Badar tahun depan insya-Allah,” jawab Nabi. Sebelum perang, Abu Sufyan menyuruh Nu’aim bin Mas’ud agar menakut-nakuti umat Islam bahwa 1.000 tentaranya siap menggilas mereka. Provokasi itu dilakukan Nu’aim dengan imbalan 10 ekor unta. Sebagian tentara muslim terpengaruh dan benar-benar menolak mengikuti Nabi. Melihat spirit para sahabat menurun, Nabi SAW bangkit membakar semangat mereka, ”Walladzi nafsi biyadihi (demi Allah yang menguasai diriku), saya akan tetap berangkat perang walaupun sendirian”. Nabi memanggil 70 pasukan yang setia dan berangkat ke perang Badar dengan membaca hasbunallah wani’mal wakil(cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah Pelindung Yang Terbaik).
Dalam Surat At Taubah ayat 40 disebutkan penyemangtan Nabi SAW kepada Abu Bakar r.a yang tinggal bersamanya di Gua Tsur selama 3 malam (1 Rabiul Awal tahun ke 53 dari kelahiran Nabi atau 24-09-622 M). Abu Bakar r.a ketakutan karena dari celah-celah gua, ia melihat kaki para algojo Mekah yang siap membunuh mereka berdua. Saat itulah, Nabi SAW menyemangati Abu Bakar r.a, “La tahzan innallaha ma’ana” (jangan cemas, sungguh Allah tetap bersama kita). 
Bagaimana cara Nabi SAW menyemangati 3.000 prajurit yang sedang membangun benteng dalam perang Khandaq melawan 10.000 pasukan kafir pimpinan Abu Sufyan? Atas usul Salman Al Farisi, mualaf berkebangsaan Persia, Nabi memutuskan membuat parit (khandaq) memanjang di sebelah selatan Madinah dari ujung barat sampai ke timur. Dalam penggalian selama 6 hari (Syawal 5 H/627 M) tersebut, beberapa tentara melapor kepada Nabi adanya batu besar. Jawaban Nabi SAW sangat mengagetkan, “Ana naaazil” (saya sendiri yang akan memecah batu itu). Muhammad bin ‘Allan As Shiddiqy menyebut ucapan Nabi itu sebagai targhiiban lil muslimin (penyemangat untuk kaum muslimin).
Benar, berangkatlah Rasulullah dengan perut yang terikat selendang berisikan batu untuk menahan lapar, karena sudah tiga hari tidak makan apapun. “Blaaar.” Pecahlah batu itu atas pukulan Nabi. Pada pukulan pertama, ada cahaya dari arah kota Syam (Syiria). Pada pukulan kedua, cahaya memancar dari arah Persia, dan pada pukulan terakhir, ada sinar dari arah Yaman. Semua cahaya itu menandakan ketiga kota itu akan segera dikuasai umat Islam.
Jabir bin Abdillah r.a tidak tega melihat Nabi (60 tahun) kelaparan. Ia minta ijin untuk pulang sebentar. ”Apa ada makanan di rumah?.” Istrinya menjawab, ”Hanya sedikit gandum dan seekor kambing.” Jabir lalu menyembelih kambing itu dan menumbuk gandum untuk menjadi adonan roti. Jabir berlari dan membisikkan sesuatu di telinga Nabi, ”Wahai Rasulullah, tersedia sedikit makanan untuk tuan dan 1 atau 2 orang.” Nabi lalu memintanya agar memberitahu istrinya agar tidak menurunkan panci dan mematikan tungku sebelum ia datang. Ternyata, Nabi datang dengan seribu orang. “Mengapa kamu tidak memberitahu persiapan makanan kami yang terbatas?,” kata istri setengah marah kepada sang suami. Nabi SAW pergi ke dapur dan memercikkan sedikit ludah ke dalam panci, mengambil masakan itu dan menyuguhkan sendiri kepada para sahabat, sampai semuanya kenyang. Baru setelah itu, Nabi SAW menyuruh istri Jabir bin Abdillah r.a untuk membagikan makanan sisanya untuk semua kaum muslimin. Inilah mukjizat Nabi, sekaligus ketauladanan, kerendahan hati dan penyemangatannya untuk umatnya  (Disarikan dari HR Al Bukhari dan Muslim dari Jabir bin Abdillah r.a).
            Tahukah Anda, hanya 20 % ucapan orang yang membakar semangat. Sisanya (90%) mematikannya. Jika Anda memberi seseorang barang berharga, tapi ia tidak memiliki semangat, maka sisa-sialah pemberian itu. Sebaliknya, jika Anda tidak memiliki barang berharga untuk diberikan kepada anak Anda atau siapapun, Anda tidak perlu bersedih selama Anda mamberikan SEMANGAT kepadanya. 

Referensi: (1) Muhammad Hasan Al Hamshy, Qur’an Wa Bayan ‘Ma’a Asbabin Nuzul Lis Suyuthy, Darur Rasyid, Damaskus- Beirut, tt. (2) Hamka, Tafsir Al Azhar, Juz 5,Pustaka Panjimas, Jakarta, 1985, p. 179 (3) M. Qureish Shihab, Al Misbah Vol 2, Penerbit Lenterera Hati, Jakarta, 2012, p. 643 (4) Ensiklopedie Islam (5) Majalah Aula No.2 Februari 1999, p. 46 (6) Ahmad Hadi, Persinggahan Para Malaikat, Penerbit Mizan, Bandung 1993, p. 25-33 (7) Moh. Ali Aziz, Bersiul di Tengah Badai, UIN Sunan Ampel Press, Surabaya, cet. I, 2015. (8) As Shiddiqy, Muhammad bin ‘Allan, Dalilul Falihin, Darul Kutub Al Ilmiyah, Bairut Libanon, tt.  (9) Al Nawawy, Abu Zakariya, Yahya bin Syaraf,  Riyadush Shalihin,  CV. Thoha Putra, Semarang, 1981.
Referensi: http://www.uinsby.ac.id/kolom/id/181/pembakar-semangat-bukan-penghambat

Rabu, 15 Juni 2016

Berharap Kemenag Benar-Benar Suci

Oleh : Dr Biyanto, Dosen Fak. Ushuludiin & Filsafat, UINSA Surabaya
KEMENTERIAN Agama (Kemenag) genap berusia 70 tahun pada 3 Januari 2016. Dalam usia yang sangat matang itu, Kemenag semestinya berbenah. Moto ”Ikhlas Beramal” harus menjadi spirit dalam memberikan pelayanan kepada umat. Kemenag juga harus benarbenar menunjukkan diri sebagai departemen ”suci”. Harapan tersebut penting karena publik mulai menyoal integritas Kemenag.
Integritas departemen ”suci” dipertanyakan seiring dengan munculnya kasus korupsi di Kemenag. Di antaranya adalah kasus korupsi pencetakan mushaf Alquran. Bayangkan, pencetakan kitab suci Alquran ternyata tidak luput dari perilaku koruptif. Kasus lain yang juga menyita perhatian publik adalah gratifikasi penerimaan honor jasa kepenghuluan di kantor urusan agama (KUA).
Puncaknya tentu saja kasus korupsi haji yang melibatkan mantan Menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali (SDA). Bahkan, SDA ditetapkan sebagai tersangka saat masih aktif menjabat Menag. Dalam lanjutan sidang kasus korupsi haji pada Rabu (23/12), SDA dinyatakan bersalah dan dituntut sebelas tahun penjara oleh jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
SDA semestinya banyak belajar pada kasus yang dialami mantan Menag Said Agil Husin Al Munawar yang menghadapi tuduhan korupsi dana abadi umat (DAU) dan biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH). Dalam persidangan yang digelar pada 2005, Said Agil dinyatakan bersalah dan diganjar lima tahun penjara. Beberapa kasus korupsi itu menunjukkan potret buram wajah Kemenag.
Pengelolaan dana penyelenggaraan ibadah haji memang sangat rawan diselewengkan. Terutama dana yang bersumber dari bunga setoran calon jamaah haji di bank-bank mitra Kemenag. Penyelewengan dana ibadah haji juga berpotensi terjadi pada pengadaan barang dan jasa seperti pakaian batik, tas, buku tuntunan ibadah, pemondokan, akomodasi, transportasi, serta katering.
Karena pejabatnya sering tersandung kasus korupsi, integritas Kemenag terus disorot. Padahal, KPK telah memberikan peringatan kepada Kemenag. Berdasar hasil survei integritas yang dilakukan KPK pada November 2011, Kemenag diposisikan di peringkat paling buncit. Survei dilakukan terhadap 98 instansi, meliputi 22 instansi pusat, 7 instansi vertikal, dan 69 instansi pemerintah daerah. Hasil survei menunjukkan bahwa indeks integritas Kemenag hanya 5,37, jauh di bawah integritas pusat yang mencapai 7,07.
Dengan nilai integritas yang rendah itu, artinya kasus korupsi masih banyak terjadi di Kemenag. Bukan hanya Kemenag tingkat pusat dan daerah, di level kecamatan pun praktik gratifikasi dengan mudah dapat dijumpai. Indikatornya antara lain adalah besaran biaya administrasi pernikahan di KUA yang tidak pernah menentu. Apalagi, penerimaan honor jasa kepenghuluan ternyata tidak masuk ke kas KUA, tapi menjadi sumber pendapatan penghulu.
Dana setoran calon jamaah haji yang melimpah juga menjadikan Kemenag sorotan publik. Apalagi jika menengok biaya haji yang ditetapkan pemerintah ternyata paling tinggi dibanding negara lain. Padahal, pelayanan yang diberikan pemerintah masih jauh dari memuaskan. Dampaknya, banyak keluhan yang dirasakan jamaah. Untung, jamaah haji tergolong penyabar dan nrimo ing pandum. Pelayanan yang ala kadarnya selama proses ibadah haji umum dianggap ujian.
Kasus korupsi pencetakan mushaf Alquran,gratifikasijasakepenghuluan di KUA, penyelewengan dana ibadah haji, dan hasil survei integritas KPK jelas telah mencoreng institusi Kemenag. Padahal, Kemenag diharapkan menjadi benteng dari kebobrokan moral bangsa. Sangat disayangkan, kasus korupsi dengan berbagai ekspresinya justru terjadi di Kemenag. Tidak mengherankan jika perspektif publik pada Kemenag berubah.
Pegawai Kemenag yang setiap hari mengurusi agama dianggap tidak mampu menjadi agen pemberantasan korupsi. Pertanyaannya,mengapaKemenagyang umumnya diisi orang yang berlatar belakang pendidikan agama justru terlibat kasus korupsi? Jawabnya, sangat mungkin oknum yang terlibat itu belum memahami kriteria tindakan yang bisa dikategorikan korupsi. Apalagi, modus korupsi ternyata sangat bervariasi. Ekspresi korupsi pun mewujud dalam banyak wajah ( multiface).
Realitas yang ada di tengah-tengah masyarakat menunjukkan betapa praktik korupsi telah disamarkan dengan banyak istilah. Misalnya, masyarakat mengenal istilah uang administrasi, uang tip, angpao, uang diam, uang bensin, uang pelicin, uang ketok, uang kopi, uang makan, uang pangkal, uang rokok, uang damai, uang di bawah meja, uang tahu sama tahu, dan uang lelah. Berbagai istilah di atas merupakan bagian dari ekspresi korupsi.
Publik jelas berharap keluarga besar Kemenag terus belajar pada kasus-kasus korupsi yang selama ini terjadi. Sebagai nakhoda departemen ”suci”, Menag Lukman Hakim Saifuddin yang berlatar belakang politikus-santri modern diharapkan bisa mewujudkan integritas di lingkungan Kemenag. Jika budaya berintegritas itu melekat dalam diri setiap pegawai dan pejabatnya, pada saatnya publik akan menyaksikan wajah Kemenag benar-benar suci.
Artikel ini sudah dimuat di Opini Jawa Pos4/1/2016
Referensi: http://www.uinsby.ac.id/kolom/id/153/berharap-kemenag-benar-benar-suci

Kekuasaan untuk Kemaslahatan

Oleh : Dra. Wahidah Zein Br Siregar, MA. Ph.D, Dosen Prodi Sosiologi, FISIP UINSA Surabaya
Beberapa waktu lalu saya mengantarkan seorang teman menuju bandar udara (bandara) Juanda, di terminal 2. Waktu itu hari masih pagi. Teman tersebut akan naik pesawat Garuda penerbangan pertama menuju Jakarta, pukul 5.25 WIB. Karenanya kami berangkat dari rumah jam 4 pagi. Kebetulan rumah saya memang berjarak sekitar 10 km dari bandara. Sehingga jika tidak ada rintangan apa-apa saya akan sampai di Bandara dalam waktu kurang dari 30 menit.
Hampir memasuki bandara, ternyata terjadi kemacetan di depan pintu masuk. Mobil-mobil antri untuk mengambil karcis parkir yang diambil melalui mesin. Tidak ada petugas yang mengambilkan karcis buat para supir, meskipun terkadang ada juga anggota marinir dengan seragam lorengnya yang khas membantu mengambilkannya. Beberapa kali saya mendapat pertolongan ini. Kebetulan memang cukup sering saya menjadi supir, mengantar atau menjemput keluarga atau teman di bandara ini.
Apa yang menjadi sumber kemacetan? Selain volume mobil yang banyak, ternyata satu dari dua mesin karcis mengalami kerusakan, sehingga semua mobil tertuju pada satu pintu masuk saja. Namun, semua mobil yang masuk tampaknya sabar menunggu antriannya tiba. Tetapi, tanpa disangka, dari sisi kiri saya, tiba-tiba sebuah mobil sedan berplat kendaraan dinas militer dengan warnanya yang khas melaju dengan kencang dan kasar berusaha menyalip mobil saya. Padahal saya sudah hampir mencapai mesin karcis parkir. Dia berusaha menerobos mendahului mobil saya, memotong antrian mobil yang panjang ini. Dia membuka jendela mobilnya, menjulurkan tangannya meminta agar bisa langsung mendekati mesin dan mengambil karcis. Saya tidak bisa melihat dengan jelas siapa supir mobil ini. Tetapi tentulah dia seorang anggota militer. Kalau tidak, tentu tidak boleh dia mengendarai mobil dinas militer tersebut.
Dengan mengelus dada saya memberi jalan padanya. Memberinya kesempatan untuk mendahului mobil saya. Saya berusaha untuk berpikir positif, pastilah dia sedang terburu-buru. Mungkin akan mengantar seseorang yang sangat tinggi kedudukannya, atau bisa jadi dia sedang sakit perut sehingga ingin cepat-cepat pergi ke toilet. Sebab, setelah mendapatkan karcis dia tetap melajukan mobilnya dengan kencang. 
Setelah mendrop teman saya di pintu keberangkatan, saya kembali menjalankan mobil menuju pintu keluar. Kali ini tidak terjadi antrian yang terlalu panjang karena ada empat pintu keluar parkir yang dibuka. Memang di terminal 2 ini, jumlah pintu keluar mobil lebih banyak dari pada pintu masuknya. Kalau saya tidak salah ada 5 pintu keluar, dan seperti yang saya jelaskan sebelumnya, hanya ada 2 pintu masuknya.
Mobil-mobil memilih pintu keluar sesuai dengan jalurnya masing-masing. Sayapun dengan tenang berusaha memilih pintu keluar yang sesuai dengan jalur mobil saya. Ada satu mobil saja di depan mobil saya menuju giliran saya untuk sampai pada loket pengembalian karcis. Tetapi, tiba-tiba saja, mobil sedan yang sama, yang memotong antrian ketika saya masuk ke bandara, tiba-tiba sudah berada di samping saya. Dia kembali memotong antrian untuk diberi kesempatan sampai di loket pengembalian karcis lebih dahulu. Kali ini saya tidak lagi bisa berpikir positif. Saya merasa kesal dan sedih. Bukan hanya karena dia memotong antrian saya tetapi sedih pada atribut-atribut kedinasan yang digunakan oleh supir tersebut. Yang paling jelas saya lihat adalah bahwa dia menggunakan mobil dinas militer (Tentara Nasional Indonesia). Saya merasakan supir tersebut sangatlah sombong. Atribut kedinasaannya digunakannya untuk menunjukkan kekuasaan, kekuatan kepada rakyat biasa seperti saya. Dia tidak perlu menghormati rakyat tetapi rakyatlah yang harus selalu menghormatinya, memberi kemudahan baginya dalam segala urusannya. Rakyat harus tunduk padanya, tanpa syarat. Dia dapat mengambil hak orang lain tanpa memperdulikan bagaimana perasaan orang yang diambil haknya itu. 
Mungkin terlalu jauh analogi yang saya kemukakan. Bisa jadi saya dianggap terlalu berlebihan dalam memberikan penilaian. Tetapi itulah yang saya rasakan saat itu. Fakta yang saya alami pagi itu membuat saya merenung bahwa masih cukup banyak orang yang belum menggunakan kekuasaannya untuk memberikan sebanyak mungkin kemanfaatan atau kemaslahatan bagi orang lainnya. Padahal kalau kita ingat hadits Rasulullah: “Barang siapa yang melihat sebuah kemungkaran, maka hendaklah dia mengubahnya dengan tangan (kekuasaan) yang dimilikinya. Jika ia tidak mampu, maka ubahlah dengan lisan (kata-kata)nya. Jika ia tetap tidak mampu maka hendaklah dia mencegah dengan hatinya, meskipun itu adalah selemah-lemahnya iman”. Jelas sekali dari Hadits Rasulullah tersebut, bahwa kekuasaan itu harus digunakan untuk mencegah terjadinya kemungkaran.
Tentu saja tidak semua pemilik kekuasaan menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan dirinya seperti apa yang telah saya jelaskan tadi. Ada juga mereka yang dengan kekuasaannya menolong orang lain. Seperti yang sudah saya sebutkan terkadang bapak marinir di Juanda menolong para supir untuk mengambilkan tiket parkir dari mesin di pintu masuk area bandara. Tetapi entah saya yang terlalu perasa, entah memang begitu kenyataannya, hanya sedikit dari mereka yang memiliki kekuasaan yang pernah saya jumpai bisa memahami bahwa kekuasaannya sebaiknya dipergunakan untuk memberi kemaslahatan pada siapa saja. Tidak hanya untuk dirinya. Bayangkan saja berapa besar kemanfaatan yang bisa diberikan oleh seorang ayah ketika kekuasaannya di keluarga digunakannya untuk memerintahkan anak-anaknya untuk berbuat kebaikan, melarang mereka untuk berbuat kejahatan dan seterusnya.
Saya berharap sekaligus berdo’a bahwa semua civitas akademika di universitas kita yang kita cintai bersama ini, khususnya pada mahasiswa yang sedang menimba ilmu, jika suatu hari mereka memiliki kekuasaan di bidang apapun itu, maka mereka dapat menggunakan kekuasaan itu untuk berbagai kemaslahatan. Mengutip salah satu definisi yang dikemukakan oleh Thomas M Magstadt dalam bukunya “Understanding Politics: Ideas, Institutions, and Issues” (Belmont, 2009:5), kekuasaan adalah “the ability of governments, and of governmental leaders, to make and enforce rules and to influence the behavior of individuals or groups…” kemampuan pemerintah-pemerintah atau pemimpin-pemimpin pemerintah untuk membuat atau menetapkan peraturan-peraturan dan untuk mempengaruhi sikap individu-individu atau kelompok-kelompok, tentu bisa dipahami betapa besar peran para pemimpim, mereka yang memiliki kekuasaan untuk menciptakan kebaikan, atau sebaliknya keburukan bagi lingkungannya, bagi orang-orang yang dipimpinnya. Para pemimpin harus bisa menunjukkan sikap yang baik, yang menghargai hak orang lain, yang menghormati hukum yang dibuatnya, jika ingin orang-orang yang berada dalam kepemimpinannya juga bersikap baik. Dengan demikian, sikap yang ditunjukkan oleh bapak anggota militer yang menggunakan mobil dinasnya, memotong jalur antrian mobil yang sudah teratur dengan sesuka hatinya, tentulah tidak patut untuk ditiru. 
Referensi: http://www.uinsby.ac.id/kolom/id/166/kekuasaan-untuk-kemaslahatan

Merumuskan Visi Kelautan UIN Sunan Ampel

M Yunan Fahmi,MT, Dosen Prodi Ilmu Kelautan, FST UINSA

Sudah sedari kecil kita diajarkan dan ditanamkan bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Sebagai ilustrasi seberapa luas wilayah Indonesia, anda bisa potong peta Indonesia dan tempelkan di benua Eropa. Setidaknya, panjang Indonesia hampir sepanjang benua Eropa itu sendiri. Jika Pulau Weh di Aceh itu diletakkan di Irlandia maka Merauke akan berada di Turki. Di antara itu ada beberapa Negara besar seperti UK, Perancis, Italia, Jerman dan Yunani. Berdasarkan data terakhir, tercatat ada 13. 466 pulau di wilayah Indonesia, dengan panjang total garis pantainya adalah 95.181 km, sebagai perbandingan panjang keliling Bumi di khatulistiwa adalah sebesar 40.075, 017 km. Garis pantai yang dimiliki oleh Indonesia cukup untuk keliling bumi dua kali!
Dengan total wilayah yang sedemikian luas, Indonesia memiliki hampir semua kekayaan alam yang ada di bumi, baik itu kekayaan hayati maupun non hayati. Oleh karenaya, Indonesia mendapatkan predikat sebagai salah satu Negara dengan Mega biodiversitas, artinya Negara dengan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi.
Pembangunan Kelautan Indonesia antara Harapan dan Kenyataan
Sejarah mencatat bahwa masa-masa kejayaan Nusantara adalah ketika kita menguasai lautan, yakni di masa kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Setelah runtuhnya Majapahit dan diperparah dengan datangnya penjajah dari Eropa, kedaulatan kita di laut semakin terdesak. Nenek moyang kita yang secara fitrah merupakan pelaut seakan dikebiri dan dipaksa menjadi ‘manusia darat’.
Salah satu momen kebangkitan kita di bidang kelautan adalah pada saat Ir Juanda mengeluarkan deklarasi yang kemudian kita kenal sebagai “Deklarasi Juanda”. Akan tetapi sejak saat itu, ada masa-masa dimana perhatian dan kesadaran kita seakan terlena dan melupakan laut. Kita didoktrin bahwa Negara kita adalah Negara agraris, dimana pembangunan besar-besaran lebih menggunakan ‘paradigma pembangunan Negara benua’. Momen berikutnya muncul pada saat presiden Abdurahman Wahid membentuk Departemen Kelautan untuk pertama kalinya. Sejak saat itulah, paradigma pembangunan kelautan kita sedikit demi sedikit mulai dikembalikan ke jalan yang benar.
Pembangunan di bidang Kelautan terdiri dari beberapa aspek yang sangat penting yakni aspek ekologis, social-budaya-ekonomi, serta politik-pertahanan dan keamanan. Sedangkan beberapa sektor yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dalam pembangunan kelautan adalah sektor pemukiman, pertanian, kehutanan, perikanan, wisata, perhubungan dan industry.
Pada kenyataannya, perkembangan pembangunan masih belum menunjukkan sinergisitas antar aspek. Ambillah contoh peningkatan di aspek ekonomi yang seringkali malah kontraproduktif dengan aspek ekologis. Pencemaran lingkungan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya produktifitas. Pun demikian dengan aspek sosial dengan contoh pada kesenjangan ekonomi antara nelayan dan tengkulak. Hampir semua desa nelayan di seluruh kawasan Indonesia merupakan kawasan yang miskin, kumuh dan termarjinalkan. Hal ini tentu saja masih menjadi pekerjaan rumah yang sangat berat bagi mereka-mereka yang berkecimpung di bidang kelautan. Bagaimana mewujudkan kembali kejayaan bangsa melalui bidang kelautan.
UIN Sunan Ampel dan Kebangkitan Kelautan Nasional
Dengan dibukanya prodi Ilmu Kelautan, yang bernaung di bawah Fakultas Sains dan Teknologi, semakin memperkokoh pondasi dan memperluas peluang UIN Sunan Ampel untuk semakin banyak berkontribusi dalam pembangunan kelautan nasional. UIN Sunan Ampel diharapkan mampu menjawab tantangan yang selama ini dirasa masih belum mampu dijawab oleh kampus-kampus lain yang telah lebih dulu memiliki prodi kelautan.
Allah SWT telah memberikan isyarat tentang persoalan utama yang harus diselesaikan dalam konteks pembangunan secara keseluruhan di surat Ar-Rum ayat 41 yang artinya:
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”
Secara awam, kita bisa ambil pelajaran bahwa segala kerusakan yang terjadi di muka bumi ini, baik itu kerusakan secara ekologis maupun kerusakan secara moral-sosial adalah disebabkan ketidakcakapan kita sebagai khalifah di bumi. Bisa jadi kerusakan itu akibat ketidakmampuan kita membaca dan menerapkan ayat-ayat kauniyah dan qauliyah yang tersebar di muka bumi, sehingga teknologi yang kita ciptakan malah semakin merusak lingkungan dan sistem social-ekonomi yang kita terapkan semakin memperlebar jurang kesenjangan antara si kaya dan si miskin.
Tanggung jawab moral untuk menanggung dan memperbaiki segala kerusakan ini kiranya lebih layak disematkan pada setiap civitas akademika di UIN Sunan Ampel umumnya dan civitas akademika di fakultas Sains dan Teknologi pada umumnya. Kenapa demikian? Karena kita secara sadar telah mengikrarkan diri sebagai kampus yang mengintegrasikan nilai-nilai keislaman dengan nilai-nilai saintifik yang mana bisa jadi konsep ini tidak diusung oleh kampus lain yang lebih ‘sekuler’. Satu lagi yang perlu diingat adalah bahwa hanya UIN Sunan Ampel lah satu-satunya PTAIN di Indonesia yang memiliki prodi Ilmu Kelautan. Oleh karena itu kita memiliki pekerjaan rumah utama yang cukup berat yakni mengembalikan dan mempersiapkan insan-insan cendekia yang tak hanya cakap di kemampuan eksakta tapi juga memiliki empati yang tinggi dan aqidah yang kokoh.
Setelah kita sadari bahwa satu-satunya jalan mengembalikan kejayaan Nusantara di masa lalu adalah dengan kembali ke khitthah kita, kembali kepada fitrah atau jati diri kita sebagai Negara kepulauan dengan prioritas utama pembangunan adalah di bidang kelautan, maka perlu disusun sebuah visi UIN Sunan Ampel yang berorientasi pada pembangunan kelautan. Visi ini akan menjadi guidance atau acuan dan tujuan yang ingin dan harus kita capai yang akan dijabarkan dalam aksi-aksi nyata seperti contoh KKN di desa-desa pesisir, menggagas kurikulum bermuatan kelautan untuk usia dini, serta mengevaluasi praktik-praktik di lapangan yang kurang sesuai dengan aqidah islam.
Harlah ke-50 tahun UIN Sunan Ampel merupakan momen yang sangat pas dan sangat strategis jika kita ingin menginisiasi dan merumuskan visi tersebut. Tentunya hal ini memerlukan kelapangan hati dan kerja sama setiap civitas akademika UIN Sunan Ampel sebagai wujud aktualisasi nilai islam yang rahmatan lil alamin demi terwujudnya Indonesia yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur.
Wallahu a’lam bish shawab
Referensi:http://www.uinsby.ac.id/kolom/id/180/merumuskan-visi-kelautan-uin-sunan-ampel

Sosiologi Poligami & Family Property

Oleh : Ita Musarrofa, M.Ag, Dosen Prodi Muamalah UINSA Surabaya
Baru-baru ini di salah satu media sosial marak posting gambar meme lucu tentang poligami. Topik yang menjadi bahan lelucon adalah kemarahan istri saat dipoligami.  Gambar meme lucu tersebut misalnya yang berjudul “Menguji Madu Asli atau Madu Palsu” berikut ini:
Pertama masukkan madu ke dalam gelas, lalu masukkan ke dalam freezer. Kalau beku berarti madu palsu. Kedua, tuang madu ke cangkir, lalu letakkan di meja, kalau dikerubutin semut, berarti madu palsu. Ketiga, ajak madu Anda ke rumah, lalu tunjukkan pada istri, bila istri marah besar, melempar piring, memecah gelas, berarti madu itu asli.
Perhatikan juga postingan berikut:
Punya istri cantik itu penting, punya istri sukses juga penting supaya bisa bantu dakwah suami, punya istri pintar nggak kalah penting, supaya bisa didik anak jadi pintar juga, punya istri solehah sangat penting, agar rumah tangganya sampai ke surga, dan yang terpenting mereka berempat bisa akur.
Ada lagi meme dengan judul tidak pernah menolak poligami yang berisi percakapanberikut:
Ustadzah: “Saya tidak pernah menolak hukum poligami”
Jamaah: “Wah Ustadzah hebat”
Ustazah : “Saya tidak pernah melarang para suami untuk menikah lagi”
Jamaah: “Wah Ustadzah benar-benar berkelas”
Ustazah: “yang penting........”
Jamaah: “yang penting adil kan Ustadzah?
Ustazah: “bukan, yang penting..... bukan suami saya”
Pernyataan bahwa tidak ada perempuan yang mau dimadu adalah benar adanya. Hampir semua perempuan menyatakan perang terhadap poligami. Kenyataan ini dijadikan anekdot oleh laki-laki, menjadi realitas lucu yang layak dijadikan bahan tertawaan. Padahal kebanyakan perempuan yang hidup dalam keluarga poligami harus mengalami perjuangan berat dalam mengatasi kerumitan relasinya dengan sang suami, istri-istri yang lain, anak-anak dari masing-masing istri yang berbeda maupun mengatasi kegalauan perasaannya sendiri.
Di banding monogami, keluarga berbentuk poligami sangatlah kompleks. Kompleksitas struktur keluarga menyebabkan kompleksitas relasi-relasi serta interaksi antar anggota-anggota keluarga di dalamnya. Menurut para antropolog, relasi-relasi dalam keluarga dapat diringkas menjadi kombinasi tiga relasi dasar keluarga. Pertama, union, yaitu relasi antarpasangan suami istri. Kedua filiation, yaitu relasi orang tua dan anak. Ketiga germanity, yaitu relasi antarsaudara (Daniel Bertaux dan Cathrine Delcroix: 2000, 76). Meringkas relasi-relasi keluarga ke dalam tiga relasi dasar tersebut tampaknya tidak memadai bila melihat relasi-relasi dalam bentuk keluarga poligami. Ada satu relasi dalam keluarga poligami yang tidak tercakup ke dalam ketiga relasi tersebut, yaitu relasi antar-istri. Relasi antar-istri inilah yang paling rentan terhadap konflik.
Randall Collins, seorang sosiolog keluarga, menyebutkan adanya tiga hak seseorang yang sudah menikah yang didapat dari pasangannya. Ketiganya dinamakan Collins dengan teori family property. Teori family property memandang keluarga sebagai sistem kepemilikan dan mencatat tiga bentuk kepemilikan dalam keluarga. Pertama, hak atas kepemilikan seksual (sexual property), yaitu hak berhubungan seks dengan pasangan dan larangan melakukannya dengan orang lain. Kepemilikan jenis ini sering diperluas pada aspek perasaan dan afeksi pasangan, meskipun mungkin ini hanya ada pada masyarakat modern. Kedua, hak atas kepemilikan ekonomi (economic property), yaitu materi rumah tangga itu sendiri, berupa income untuk menghidupi keluarga. Ketiga, hak atas kepemilikan intergenerasional (intergenerational property), yaitu  hak anak untuk mewarisi kekayaan ekonomi keluarga dan hak orang tua terhadap anak secara ekonomi ataupun lainnya (Randall Collins: 1987, 37).
Bila keluarga berbentuk poligami dikaitkan dengan property system seperti di atas, ketiga property itu harus dibagi. Suami yang memiliki istri lebih dari satu memperumit bentuk-bentuk relasi dalam keluarga, karena relasi pasangan tidak hanya terjadi antarsepasang suami istri, tetapi juga antarsuami dengan istri-istri yang lain. Para istri harus berbagi baik sexual propertyeconomic property maupun intergenerasional property dari suami yang sama. Relasi orang tua dan anak bukan hanya antara ayah-ibu dan anak-anaknya sendiri, tetapi antara ayah dengan anak-anak dari masing-masing istri, serta antara ibu dengan anaknya sendiri dan anak-anak tirinya. Selain itu, relasi antara anak bukan hanya antara saudara kandung, tetapi juga dengan saudara tiri. Konflik dalam keluarga poligami seringkali terjadi tidak hanya antar istri, tetapi juga antar anak dari istri yang berbeda. Ketiga property tersebut tidak hanya diperebutkan istri-istri, tetapi juga anak-anak dari masing-asing istri.
Tidak semua perempuan mampu menolak poligami, mereka yang sudah terlanjur menjalani hidup dalam keluarga ini cenderung menganggap apa yang terjadi adalah takdir dari Tuhan yang tertulis untuk mereka. Dalam penelitian yang pernah saya lakukan, beberapa perempuan yang saya wawancarai menegaskan tentang takdir yang tidak bisa ditolak ini. Agar bisa nyaman menjalani hidup dalam keluarga poligami, mereka mengembangkan strategi-strategi tertentu, baik dalam mengatasi perasaan mereka sendiri maupun dalam menjalin hubungan baik dengan suami dan istri-istri yang lain.
Seorang informan mengaku tidak pernah melihat wajah madunya saat terpaksa harus bertemu dan berbicara.  Hal ini ia lakukan untuk mengatasi rasa sakit hati. Meskipun ia merestui suaminya menikah lagi, ia tetap merasa sakit hati saat bertemu madunya. Sementara informan yang lain menganggap suaminya orang lain saat bertemu di luar rumah.  Sang suami menjadi suaminya hanya bila bersamanya di rumahnya sendiri. Cara memanipulasi perasaan seperti ini ia lakukan agar ia tidak merasa cemburu saat ia melihat suaminya bersama wanita lain, agar ia tidak bertengkar dengan suaminya karena cemburu, dan agar ia tidak membenci istri-istri yang lain. Sementara itu, informan yang lain menghindari bertanya kemana suaminya pergi serta darimana suaminya datang. Saat suaminya pulang di malam hari, ia hanya mempersilahkan suaminya masuk serta melayani keperluannya tanpa bertanya-tanya. Karena ia tahu pasti suaminya punya istri lain.
Mengetahui bagaimana perempuan-perempuan dalam keluarga poligami membangun strategi hidup, terbayang betapa tidak nyaman kehidupan mereka sehingga harus berjuang mendinginkan hati dengan cara menghindari menatap muka madunya, membangun konsep dalam pikirannya bahwa suaminya hanyalah jika ia mengunjungi rumahnya serta menghindari bertanya di saat seharusnya seorang istri bertanya darimana dan kemana suaminya pergi. Perempuan dalam keluarga poligami, harus berjuang melawan perasaannya sendiri. Ia harus ‘menindas’ diri sendiri agar nyaman membangun relasi dengan suami dan istri-istri yang lain.
Ketidakrelaan perempuan untuk dipoligami sangatlah beralasan. Karena ketika harus hidup dalam keluarga poligami, ia harus membiasakan diri berbagi dan menjalin relasi harmonis dengan anggota keluarga yang lain yang salah satunya dengan mengalahkan keinginan pribadi. Keharusan ini bukan sesuatu yang mudah dilakukan. Jadi tidak selayaknya menjadikan kemarahan istri yang dimadu sebagai bahan candaan. Karena meskipun mereka menyatakan rela dimadu, rasa tidak nyaman tetap mereka rasakan dalam usaha mereka membina keluarga poligami.
Referensi: http://www.uinsby.ac.id/kolom/id/150/sosiologi-poligami-family-property