Rabu, 15 Juni 2016

Kekuasaan untuk Kemaslahatan

Oleh : Dra. Wahidah Zein Br Siregar, MA. Ph.D, Dosen Prodi Sosiologi, FISIP UINSA Surabaya
Beberapa waktu lalu saya mengantarkan seorang teman menuju bandar udara (bandara) Juanda, di terminal 2. Waktu itu hari masih pagi. Teman tersebut akan naik pesawat Garuda penerbangan pertama menuju Jakarta, pukul 5.25 WIB. Karenanya kami berangkat dari rumah jam 4 pagi. Kebetulan rumah saya memang berjarak sekitar 10 km dari bandara. Sehingga jika tidak ada rintangan apa-apa saya akan sampai di Bandara dalam waktu kurang dari 30 menit.
Hampir memasuki bandara, ternyata terjadi kemacetan di depan pintu masuk. Mobil-mobil antri untuk mengambil karcis parkir yang diambil melalui mesin. Tidak ada petugas yang mengambilkan karcis buat para supir, meskipun terkadang ada juga anggota marinir dengan seragam lorengnya yang khas membantu mengambilkannya. Beberapa kali saya mendapat pertolongan ini. Kebetulan memang cukup sering saya menjadi supir, mengantar atau menjemput keluarga atau teman di bandara ini.
Apa yang menjadi sumber kemacetan? Selain volume mobil yang banyak, ternyata satu dari dua mesin karcis mengalami kerusakan, sehingga semua mobil tertuju pada satu pintu masuk saja. Namun, semua mobil yang masuk tampaknya sabar menunggu antriannya tiba. Tetapi, tanpa disangka, dari sisi kiri saya, tiba-tiba sebuah mobil sedan berplat kendaraan dinas militer dengan warnanya yang khas melaju dengan kencang dan kasar berusaha menyalip mobil saya. Padahal saya sudah hampir mencapai mesin karcis parkir. Dia berusaha menerobos mendahului mobil saya, memotong antrian mobil yang panjang ini. Dia membuka jendela mobilnya, menjulurkan tangannya meminta agar bisa langsung mendekati mesin dan mengambil karcis. Saya tidak bisa melihat dengan jelas siapa supir mobil ini. Tetapi tentulah dia seorang anggota militer. Kalau tidak, tentu tidak boleh dia mengendarai mobil dinas militer tersebut.
Dengan mengelus dada saya memberi jalan padanya. Memberinya kesempatan untuk mendahului mobil saya. Saya berusaha untuk berpikir positif, pastilah dia sedang terburu-buru. Mungkin akan mengantar seseorang yang sangat tinggi kedudukannya, atau bisa jadi dia sedang sakit perut sehingga ingin cepat-cepat pergi ke toilet. Sebab, setelah mendapatkan karcis dia tetap melajukan mobilnya dengan kencang. 
Setelah mendrop teman saya di pintu keberangkatan, saya kembali menjalankan mobil menuju pintu keluar. Kali ini tidak terjadi antrian yang terlalu panjang karena ada empat pintu keluar parkir yang dibuka. Memang di terminal 2 ini, jumlah pintu keluar mobil lebih banyak dari pada pintu masuknya. Kalau saya tidak salah ada 5 pintu keluar, dan seperti yang saya jelaskan sebelumnya, hanya ada 2 pintu masuknya.
Mobil-mobil memilih pintu keluar sesuai dengan jalurnya masing-masing. Sayapun dengan tenang berusaha memilih pintu keluar yang sesuai dengan jalur mobil saya. Ada satu mobil saja di depan mobil saya menuju giliran saya untuk sampai pada loket pengembalian karcis. Tetapi, tiba-tiba saja, mobil sedan yang sama, yang memotong antrian ketika saya masuk ke bandara, tiba-tiba sudah berada di samping saya. Dia kembali memotong antrian untuk diberi kesempatan sampai di loket pengembalian karcis lebih dahulu. Kali ini saya tidak lagi bisa berpikir positif. Saya merasa kesal dan sedih. Bukan hanya karena dia memotong antrian saya tetapi sedih pada atribut-atribut kedinasan yang digunakan oleh supir tersebut. Yang paling jelas saya lihat adalah bahwa dia menggunakan mobil dinas militer (Tentara Nasional Indonesia). Saya merasakan supir tersebut sangatlah sombong. Atribut kedinasaannya digunakannya untuk menunjukkan kekuasaan, kekuatan kepada rakyat biasa seperti saya. Dia tidak perlu menghormati rakyat tetapi rakyatlah yang harus selalu menghormatinya, memberi kemudahan baginya dalam segala urusannya. Rakyat harus tunduk padanya, tanpa syarat. Dia dapat mengambil hak orang lain tanpa memperdulikan bagaimana perasaan orang yang diambil haknya itu. 
Mungkin terlalu jauh analogi yang saya kemukakan. Bisa jadi saya dianggap terlalu berlebihan dalam memberikan penilaian. Tetapi itulah yang saya rasakan saat itu. Fakta yang saya alami pagi itu membuat saya merenung bahwa masih cukup banyak orang yang belum menggunakan kekuasaannya untuk memberikan sebanyak mungkin kemanfaatan atau kemaslahatan bagi orang lainnya. Padahal kalau kita ingat hadits Rasulullah: “Barang siapa yang melihat sebuah kemungkaran, maka hendaklah dia mengubahnya dengan tangan (kekuasaan) yang dimilikinya. Jika ia tidak mampu, maka ubahlah dengan lisan (kata-kata)nya. Jika ia tetap tidak mampu maka hendaklah dia mencegah dengan hatinya, meskipun itu adalah selemah-lemahnya iman”. Jelas sekali dari Hadits Rasulullah tersebut, bahwa kekuasaan itu harus digunakan untuk mencegah terjadinya kemungkaran.
Tentu saja tidak semua pemilik kekuasaan menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan dirinya seperti apa yang telah saya jelaskan tadi. Ada juga mereka yang dengan kekuasaannya menolong orang lain. Seperti yang sudah saya sebutkan terkadang bapak marinir di Juanda menolong para supir untuk mengambilkan tiket parkir dari mesin di pintu masuk area bandara. Tetapi entah saya yang terlalu perasa, entah memang begitu kenyataannya, hanya sedikit dari mereka yang memiliki kekuasaan yang pernah saya jumpai bisa memahami bahwa kekuasaannya sebaiknya dipergunakan untuk memberi kemaslahatan pada siapa saja. Tidak hanya untuk dirinya. Bayangkan saja berapa besar kemanfaatan yang bisa diberikan oleh seorang ayah ketika kekuasaannya di keluarga digunakannya untuk memerintahkan anak-anaknya untuk berbuat kebaikan, melarang mereka untuk berbuat kejahatan dan seterusnya.
Saya berharap sekaligus berdo’a bahwa semua civitas akademika di universitas kita yang kita cintai bersama ini, khususnya pada mahasiswa yang sedang menimba ilmu, jika suatu hari mereka memiliki kekuasaan di bidang apapun itu, maka mereka dapat menggunakan kekuasaan itu untuk berbagai kemaslahatan. Mengutip salah satu definisi yang dikemukakan oleh Thomas M Magstadt dalam bukunya “Understanding Politics: Ideas, Institutions, and Issues” (Belmont, 2009:5), kekuasaan adalah “the ability of governments, and of governmental leaders, to make and enforce rules and to influence the behavior of individuals or groups…” kemampuan pemerintah-pemerintah atau pemimpin-pemimpin pemerintah untuk membuat atau menetapkan peraturan-peraturan dan untuk mempengaruhi sikap individu-individu atau kelompok-kelompok, tentu bisa dipahami betapa besar peran para pemimpim, mereka yang memiliki kekuasaan untuk menciptakan kebaikan, atau sebaliknya keburukan bagi lingkungannya, bagi orang-orang yang dipimpinnya. Para pemimpin harus bisa menunjukkan sikap yang baik, yang menghargai hak orang lain, yang menghormati hukum yang dibuatnya, jika ingin orang-orang yang berada dalam kepemimpinannya juga bersikap baik. Dengan demikian, sikap yang ditunjukkan oleh bapak anggota militer yang menggunakan mobil dinasnya, memotong jalur antrian mobil yang sudah teratur dengan sesuka hatinya, tentulah tidak patut untuk ditiru. 
Referensi: http://www.uinsby.ac.id/kolom/id/166/kekuasaan-untuk-kemaslahatan

0 komentar:

Posting Komentar