Kamis, 16 Juni 2016

Refleksi Hari Ibu ; peran Ibu, antara ruang domestik dan ruang publik

Hj.Siti Azizah S.Ag M.Si
Dosen Sosiologi FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya
Setiap tanggal 22 Desember bangsa Indonesia memperingati hari Ibu s, sejarah Hari Ibu sendiri diawali dari adanya pertemuan para pejuang wanita dengan mengadakan Kongres Perempuan Indonesia I pada 22-25 Desember1928 di Yogyakarta yang bertujuan untuk menyatukan pikiran dalam berjuang menuju kemerdekaan dan memperbaiki nasib kaum perempuan Indonesia . Kongres tersebut dihadiri oleh sekitar 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatera. Hasil dari kongres tersebut salah satunya adalah membentuk Kongres Perempuan yang kita kenal sekarang dengan Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Hari Ibu ditetapkan tanggal 22 Desember melalui dekrit presiden Soekarno No 316 tahun 1959 dan dirayakan secara nasional setiap tahun.
Momentum Hari Ibu kita jadikan sebagai refleksi tentang peran perempuan dalam keluarga dan ruang publik. Pada dasawarsa terakhir ini dalam komunitas dan sektor tertentu perempuan telah mendapatkan tempat yang berarti di tengah masyarakat, tetapi secara makro perempuan masih berhadapan dengan berbagai masalah. Adanya persepsi tentang peran ganda seorang perempuan, walaupun dia bekerja di sector public tetapi tetap dituntut untuk menyediakan waktu di sector domestik yaitu peran sebagai ibu, sebagai isteri, dan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga lainnya tetap dibebankan kepada kaum perempuan.
Munculnya peran ganda perempuan sebenarnya bermula dari adanya pembagian kerja secara seksual yang mana peran perempuan pada sektor domestik sedangkan laki-laki pada sektor publik. Ketika perempuan mulai masuk ke sector publik maka muncullah peran ganda perempuan dengan segala permasalahannya, hal ini disebabkan karena walaupun perempuan telah masuk dalam dunia publik ia masih tetap mempunyai tanggung jawab penuh di sektor domestik. Jadi walaupun mereka bekerja di luar rumah , tetapi tugas-tugas rumah tangga tetap di pegang isteri, seorang suami dianggap tabu kalau harus mencuci, memasak ataupun mengasuh anak karena dianggap pekerjaan tersebut adalah pekerjaan perempuan.
Keterlibatan perempuan dalam ruang publik merupakan peran ganda yang bisa juga berarti beban ganda, seringkali dikatakan bahwa peran ganda dapat diatasi dengan proses pembagian kerja di sektor domestik antara suami dan isteri. Tetapi yang menjadi pertanyaan apakah kita bisa dengan mudah dapat melakukan proses domestifikasi terhadap laki-laki karena ini akan berbenturan dengan budaya yang sudah mengakar dalam masyarakat yaitu budaya patriakhi. Persoalan ini menurut Abdullah tidak sesederhana itu karena yang harus ditaklukkan dalam pengurangan beban perempuan tidak hanya laki-laki, tetapi juga keluarga luas dan masyarakat secara umum yang telah menerima pembagian peran berdasarkan gender sebagai realitas obyektif. Keterlibatan laki-laki dalam bidang publik dan perempuan dalam bidang domestik merupakan realitas obyektif yang telah diterima sebagai sesuatu yang baku. Usaha mengubah semua itu merupakan usaha mendekonstruksi bangunan sosial budaya yang kemudian membutuhkan kesadaran di dalam rekonstruksi obyektif yang baru. ( Irwin, Abdullah, 2001, 198). Dan tentunya perlu waktu yang panjang untuk merekonstruksi budaya tersebut dan juga harus ada kesadaran dari kaum laki-laki bahwa dalam keluarga antara suami dan isteri adalah mitra sejajar bukan hubungan secara hierarkis.
Secara biologis perempuan dan laki-laki adalah makhluk yang berbeda, perbedaan itu menghasilkan asumsi bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah, tidak berdaya dan mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap suami. Namun pada tataran realitas ternyata perempuan bukanlah makhluk yang lemah , ketika mereka harus menjalani dua pekerjaan secara sekaligus yaitu di sector publik dan domestik, tentunya mereka harus mempunyai tenaga yang ekstra kuat yang belum tentu dapat dilakukan oleh laki-laki, hampir 24   jam waktu mereka curahkan untuk menjalani dua pekerjaan tersebut. Seperti asumsi yang berkembang di era sekarang ini yang mengatakan bahwa perempuan yang ideal adalah perempuan yang mampu menjadi superwomen yaitu yang memiliki kapasitas dan kapabilitas yang dapat mengisi ruang publik dan domestik secara sempurna. Menjadi sangat tidak adil ketika perempuan harus menjalankan kedua peran tersebut secara sekaligus, sedangkan laki-laki kenapa tidak dituntut untuk memerankan peran yang sama seperti tuntutan terhadap perempuan?. Ketika kita menuntut hal yang sama terhadap laki-laki tentunya tidak dapat dilakukan dengan mudah dan perlu waktu yang cukup banyak untuk dapat merealisasikannya karena hal ini menyangkut budaya yang ada yang telah mengakar di tengah masyarakat.
Proses marginalisasi terhadap perempuan juga sangat dipengaruhi oleh institusi keluarga, sekolah, media massa. Dalam pendidikan tingkat dasar pada waktu dulu saja, kita telah menemukan banyak ketimpangan gender, entah di sengaja atau tidak.   Hal ini tercermin dalam pelajaran Bahasa Indonesia, yang sering memberikan ilustrasi ketimpangan gender, seperti “Budi membantu ayah di sawah, sedangkan Wati membantu ibu di dapur”. Ayah pergi ke kantor dan Ibu pergi ke Pasar. Pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di sebutkan bahwa tugas Ayah adalah mencari nafkah dan ibu mengurus rumah tangga. Secara implisit, pelajaran tersebut menyiratkan pesan perbedaan gender yang sangat mendasar antara laki-laki dan wanita dalam relitas sosial.
Ketimpangan gender sesungguhnya ditegaskan secara terus menerus oleh struktur sosial yang patriarkal. Wanita yang baik cenderung harus “mengalah , manut, nrimo dan pasrah” kepada suami dalam suatu struktur interaksi dalam keluarga. Istri yang yang sempurna seringkali digambarkan sebagai isteri yang selalu melayani dan mengabdi kepada suami nya, mengurus rumah tangga serta anak-anaknya. Ketika anak melakukan kesalahan maka yang seringkali disalahkan adalah ibunya yang dianggap tidak bisa mendidik anak. Kegiatan publik bukanlah dunia perempuan, dunia perempuan tetap dalam rumah tangga sehingga menjadi wanita ideal adalah menjadi ibu rumah tangga yang baik.
Di moment peringatan hari ibu ini , kita konstruksikan kembali bagaimana idealnya seorang perempuan atau ibu, kita perlu memberikan apresiasi kepada kaum ibu dan mendudukkan  mereka sebagai makhluk Tuhan yang paling berjasa dalam kehidupan kita. Dari kaum ibulah lahir generasi penerus bangsa dan kesuksesan seorang suami dalam karier juga ditunjang oleh peran seorang isteri. Peran seorang perempuan tentu sangat penting dalam keluarga, mereka sebagai madrasatul ‘ula, karena pendidikan anak, pertama didapat dari seorang ibu dari dalam kandungan sampai anak dilahirkan dan tumbuh kembang menjadi dewasa, namun   dalam mendidik anak tidak hanya tugas dan tanggung jawab ibu saja, tetapi dalam keluarga ayahpun mempunyai kewajiban yang sama dalam pendidikan anak. Tidak semestinya lagi peran domestik harus di kerjakan penuh oleh perempuan, sebagai makhluk Tuhan perempuan pun mempunyai hak yang sama di ruang publik, mereka berhak untuk meraih pendidikan yang tinggi, mereka berhak untuk mengembangkan diri dan mendapatkan pekerjaan di sector publik sama seperti laki-laki. Perempuan bukanlah the second people, karena secara kapabilitas perempuan tidak kalah dengan laki-laki.
Di zaman sekarang ini dengan adanya gerakan gender seharusnya ketimpangan gender tidak terjadi lagi, perempuan tidak harus selalu dinomerduakan. Perempuan dan laki-laki mempunyai potensi dan peluang yang sama dalam sektor publik dan sebagai mitra sejajar, potensi perempuan sebagai mitra sejajar laki-laki harus dimaknai sebagai kebersamaan dalam mengatur kehidupan bersama. Dalam Harmona Daulay dikatakan bahwa prinsip pembagian kerja secara seimbang adalah suatu prinsip adanya suatu hubungan yang egaliter antara suami dan isteri, pola pembagian kerja seperti ini tidak membedakan gender, tetapi tergantung pada kebutuhan dan tersedianya waktu yang tercurahkan. Pada hubungan ini proses kerjasama dan tolong menolong demikian kuatnya sehingga membentuk suatu tim yang kompak sehingga akan terjadi keharmonisan dan kesetaraan gender.
Referensi:http://www.uinsby.ac.id/kolom/id/10/refleksi-hari-ibu-peran-ibu-antara-ruang-domestik-dan-ruang-publik

0 komentar:

Posting Komentar