Selasa, 22 November 2016

MAHASISWA UINSA RAIH JUARA 1 NATIONAL ISLAMIC ACCOUNTING OLYMPIADE


Adalah Ahmad Syirojuddin Shidiq (Akuntansi/5), dan Assasiyatul Faizah (Akuntansi/5) yang meraih juara 1 National Islamic Accounting Olympiad di UIN Walisongo Semarang. “Sebenarnya niat kami ke UIN Walisongo hanyalah untuk melaksanakan kewajiban, karena kami diutus oleh fakultas, tidak berharap sama sekali untuk menjadi juara, apalagi melihat lawan dari Universitas-Universitas terkenal di Indonesia. Namun Allah SWT memberikan yang lebih kepada kami, sehingga kami bisa membawa nama UIN Sunan Ampel Surabaya meraih juara pertama dalam acara tersebut,” jelas Syirojuddin dalam sebuah kesempatan setelah menerima penghargaan.

Acara tersebut dilaksanakan pada tanggal 16 Nopember 2016 dengan berbagai agenda yang harus diikuti para peserta. Diantaranya adalah Seminar Nasional Keuangan Syariah “Menelisik masa depan Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia : Peluang dan Tantangan”, tes tulis, dan cerdas cermat. Perlombaan babak pertama dimulai ada pukul 13.30 WIB. Babak ini adalah tes tulis yang terdiri dari 50 soal pilihan ganda dengan waktu 60 menit di gedung Auditorium kampus 1 UIN Walisongo Semarang. Para peserta dibagi menjadi dua kelompok untuk kategori akuntansi syariah dan akuntansi konvensional.

Dalam kesempatan tersebut diambil 8 tim (4 tim akuntansi konvensional dan 4 tim akuntansi syariah) untuk mengikuti babak selanjutnya (final). Delapan tim tersebut berasal dari berbagai Universitas di Indonsia, diantaranya, UNDIP (Universitas Diponegoro), 2 tim dari UNNES (Universitas Negeri Semarang), UNISSULA (Universitas Islam Sultan Agung), UIN SUKA (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga), 2 tim dari UIN WS (Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang), dan tim dari UIN Sunan Ampel. Pada babak final dikolaborasikan antara akuntansi konvensional dengan akuntansi syariah, sehingga terbentuk 4 tim yaitu Tim A (UIN WS – UNNES), Tim B (UIN WS – UNNES), Tim C (UINSA – UNDIP), Tim D (UIN SUKA – UNISSULA)

Pada jam 15.15 WIB di gedung Auditorium kampus 1 UIN Walisongo dilangsungkan babak kedua. Dalam babak ini, tim yang lolos diuji kemampuan dalam memecahkan persoalan dan pengetahuan seputar akuntansi dengan model cerdas cermat yang dibagi tiga sesi. Sesi pertama, Soal Wajib, dimana setiap tim di berikan lima pertanyaan yang wajib di jawab. Sesi kedua, Soal Lemparan, yakni setiap tim di berikan lima soal, ketika tim tersebut tidak bisa menjawab di lempar satu kali pada tim selanjutnya. Sedangkan sesi ketiga, Soal rebutan yang terdiri dari 20 soal. “Pada sesi ketiga ini sangat seru, karena ke-4 tim harus berebut untuk menjawab soal, terjadi kejar kejaran point dari ke 4 tim” kata Assas.

Skor akhir dalam babak final yaitu, Tim A 95 point, Tim B 65 point, Tim C 140 point, Tim D 90 point. Dengan perolehan tersebut, Tim UIN Sunan Ampel Surabaya berhasil memperoleh Juara 1 kategori akuntansi syariah, dan Tim UNDIP memperoleh Juara 1 kategori akuntansi konvensional. “Banyak pengalaman yang kami dapatkan di sana, baik dari pemateri seminar, dan juga peserta-peserta dari Universitas lain,” jelas Syirojuddin.

“Harapan kami, selanjutnya kami dapat mengikuti lomba-lomba Akuntansi lain, mengukir prestasi untuk negeri, menjadi penerus bangsa yang baik di masa depan,” tambah Assas. Assas juga berharap, agar kemenangan dan prestasi yang diraihnya tersebut dapat menambah keberkahan dan kebaikan di masa depan untuk UIN Sunan Ampel Surabaya, Islam, Bangsa dan Negara. (Madin/FEBI)

Referensi : www.uinsby.ac.id

Selasa, 04 Oktober 2016

Masalah Sampah Kian Merebah


Barang ini selalu saja ada di dekat kita, tak terlepas waktu dan tempat. Iya, sampah namanya. Lagi-lagi menjadi persoalan yang sulit dipecahkan, oleh masyarakat ataupun sekelas pemerintah. Namun tak jarang juga sebagian kalangan memanfaatkannya menjadi barang-barang daur ulang, ataupun kerajinan tangan. Dalam beberapa decade belakangan, sampah menjadi sorotan public yang tak usang dimakan zaman. Setiap kali diberitakan menggundang masyarakat untuk mengemukakan suaranya.

Sampah seakan menjadi barang kekal yang masih laku untuk diperbincangkan, baik dari kalangan bawah hingga atas. Pemerintah seakan bungkam akan dikemanakan sampah yang menggunung di TPS-TPS kumuh itu. Sudah waktunya kita membuka pikiran, untuk mencari jalan keluar bersama-sama. Tidak memandang status dan tahta, semua bisa berbicara menyampaikan pendapatnya.

Indonesia butuh orang-orang kreatif, yang dapat mengubah sampah bernilai berharga. Yang dapat membantu menyelesaikan masalah Negara, yang mampu merubah cara pandang paradigma bahwa sampah itu bukan sekedar barang tak berguna, namun juga bermanfaat bagi dirinya.

Beberapa dampak negative yang ditimbulkan oleh sampah  adalah:

Pertama, sampah dapat menyebabkan banjir. Telah terbukti sejak dulu, bahwa sampah yang menumpuk di kali dapat menghambat aliran air, yang menyebabkan meluapnya kali. Contoh yang kongkit, kita melihat Ibu kota Jakarta, yang menjadi langganan banjir jika musim hujan tiba. Seakan menjadi biasa, jika musim penghujan tiba, dipastika Ibu kota akan terkena imbasnya.

Hingga kini pemerintah DKI Jakarta masih mengupayakan agar tidak ada banjir lagi, lewat pengerukan kali, penggusuran rumah-rumah liar dibantaran kali dan membangun gorong-gorong. Semua itu hanya untuk menanggulangi banjir yang seakan menjadi langganan.

Kedua, sampah dapat menyebabkan pemanasan global. Karena sampah dapat menghasilkan gas metan (CH4) yang dapat merusak atmosfer bumi. Rata-rata tiap satu ton sampah menghasilkan 5 kg gas metan. Sudah bisa dibayangkan sudah berapa ribu ton sampah yang dibuang dan menghasilkan gas metan.

Ketiga, diare, kolera dan tifus, menyebar dengan cepat karena virus yang diakibatkan oleh tumpukan sampah. Dan juga dapat mengotori air yang ada di dalam tanah.
Penanggulangan sampah

Sampah dapat menimbulkan banyak bahaya bagi kesehatan manusia juga lingkungan sekitar, itu sebabnya pengolahan sampah harus di perhatikan betul oleh pemerintah. Tidak sebatas itu, sampah yang masih bisa di pakai dan bernilai jual hendaknya dipisahkan saat masa awal pembuangan, sehingga tidak sia-sia. Yang kita biasa jumpai, sampah kering untuk tong yang berisikan hanya khusus sampah kering dan sampah basah, yang di khususkan pula untuk sampah yang basah.

Pengolahan sampah tentu akan berdampak juga dalam memecahkan masalah Negara, ini  beberapa langkah-langkah pengolahan sampah yang biasa kita jumpai. Prinsip ini sering dikenal dengan 3R yaitu:             

@Reduce (mengurangi), meminimalisasi barang yang kita pergunakan, semakin banyak barang yang kita gunakan maka semakin banyak pula sampah yang kita hasilkan.

@Reuse (menggunakan kembali), mullailah menggunakan barang-barang yang bukan sekali pakai, sehingga barang tersebut masih bisa dipergunakan jangka panjang. Dan meminimalisir sampah yang kita hasilkan.

@Recycle (mendaur ulang), memanfaatkan barang-barang yang masih bisa di pakai, dengan cara di daur ulang, sekarang ini masih banyak industry informal dan rumah tangga yang memanfaatkan sampah menjadi barang yang bernilai jual.

Menurut data yang ada, sampah yang dihasilkan Indonesia secara keseluruhan mencapai 175.000 ton perhari atau 0,7 kilogram per orang. Sayangnya, pada 2014, data statistik pemerintah mencatat bahwa Indonesia menduduki Negara penghasil sampah plastik kedua terbesar di dunia setelah china.

Ini menjadi masalah serius ketika permasalahan ini belum mencapai titik terang. Jumlah sampah di Indonesia akan terus meningkat jika penanganan sampah belum serius. Diprediksi, pada 2019, produksi sampah di Indonesia akan menyentuh 67,1 juta ton per tahun.
Oleh : Zain

Jumat, 30 September 2016

Tiga Sunari Yang Berhasil Lintas Merbabu Merapi


Tepat sebulan yang lalu rombongan kami dari komunitas pecinta alam rezpacker telah berhasil mendaki dua gunung sekaligus, yaitu Gunung Merbabu dan Gunung Merapi dengan durasi waktu kurang dari sepekan. Rombongan kami berjumlah tiga orang, antara lain saya, aisyah, dan lunas. Tepatnya pada 15 Agustus 2016 kami memulai perjalanan ini.

Hari pertama : Pukul 20:45 kami berangkat dari UIN Surabaya menuju terminal Purabaya, kemudian kami menaiki bus EKA jurusan Surabaya-Magelang dengan harga tiket per orang sebesar 117K, dengan bonus makan malam di Ngawi. Perjalanan kami terhenti di terminal magelang pada pukul 05:15. Disana kami akan melanjutkan perjalanan lagi dengan naik bus mini jurusan wekas dengan harga tiket 10K per orang.

Hari kedua :
Wekas, adalah nama daerah yang terletak di lereng gunung merbabu, kenapa kami berhenti di daerah itu, karena disana adalah salah satu akses pintu masuk perizinan untuk memulai pendakian gunung merbabu. Jarak gapura tepat bus berhenti dengan basecamp perizanan sejauh 5-6 km atau 1,5 jam kami tempuh dengan berjalan kaki.

Karena ojek disana lumayan mahal, bisa jadi per orang sebesar 25K, tanpa tawar. Setelah kami registrasi dengan harga tiket pendakian per orang sebesar 10K,  kami packing peralatan dan logistik sambil ngopi di basecamp. Untuk registrasinya per orang 5K, bisa dibilang murah, karena di gunung-gunung yang sudah populer seperti Semeru, tiketnya saja sudah mencapai 22,5K per orang dan per hari pula.

Dan kami pun memulai perjalanan pukul 08:00, dengan tekat yang masih kuat, sebelum sampai ke tiap posnya, kami berjalan pelan tapi pasti, mengingat track yang kami lalui sangat kejam, minim sekali flat (dataran), sehingga kami pun cukup kelelahan dan kelaparan. Disamping itu, hujan turun gerimis membuat perjalanan semakin berkesan, rintik hujan memuntun kami terus maju kedepan.

Setibanya di pos 3 pukul 17:00, kami beregas mendirikan tenda karena hujan semakin deras saja. Aisyah yang dari bawah mengeluh tas nya berat pun, akhirnya tepar juga ketika sudah di dalam tenda. Tanpa jaket standar, tanpa sleeping bag, hanya berkemulkan double sarung atlas dan beralaskan matras, dia tidur sambil menggigil pelan.

Suasana malam itu mendung dan dingin. Para anggota kurang bisa merasakan tidur nyenyak. Akhirnya pagi yang ditunggu itu pun tiba, dengan cahaya yang masih belum sepenuhnya keluar dari singgasananya, kami berfoto ria, menikmati sunrise di gunung Merbabu yang mempesona. Udara dingin bercampur panas matahari semakin menentramkan hati.

Hari ke tiga :
Kami memulainya dengan menjemur semua pakian dan tas yang telah basah akibat hujan kemarin, mendirikan jemuran dengan peralatan yang ada dan membuka menu untuk sarapan pagi, yaitu sambal terong dan tempe, karena apapun itu jenis makannya minumnya teh botol sosro, eh salah, tapi akan terasa nikmat jika berada di gunung dan memakannya secara bersamaan, nice.

Hari ini kita akan summit, dengan harapan semoga summit kali ini berjalan lancar, tanpa kendala suatu apapun, ‘Berdoa mulai’, “kata Lunas. Semua peralatan, baik tenda, carrier, dan barang-barang lainnya akan kita bawa ke puncak Kenteng Songo (puncak merbabu), karena kita akan melewati jalur yang berbeda.

Setibanya di puncak pukul 13:00, dengan suasana yang indah, sedikit berkabut namun cerah. Kami berfoto-foto, bergantian, dan menuliskan pesanan nama yang sudah di siapkan untuk difoto di puncak Merbabu. Terutama bagi aisyah, yang kebanjiran orderan nama dari teman-temannya. Tujuan kami telah terwujud, di atas awan jawa tengah. Kami bersyukur upaya kami dari rumah hingga saat ini tidak sia-sia.

Mengingat kami akan langsung turun ke basecamp selo, dan tidak akan menginap semalam lagi di sini. Maka kami bergegas turun ke basecamp selo, agar besok kembali bugar, untuk melanjutkan perjalanan kami kembali ke Gunung Merapi.

Kami tiba di basecamp selo puluk 20:00, dengan kaki yang sudah kaku. Karena pendakian dua hari yang kami lalui. Sebenernya kami sudah merasa lelah, tapi tekat kami kembali membaja, untuk menjelajahi Gunung Merapi esok. Semoga tekat ini akan terus terjaga hingga pagi tiba.

Alarm kami berdengung, menandakan pukul 05:00 waktunya sholat subuh, walaupun agak terlambat sedikit, tapi kewajiban ini harus ditunaikan dimanapun kita berada, right. Saya bangkit dari tempat tidur dan menghirup udara pagi yang segar, sambil pemanasan sebelum melanjutkan pendakian menuju puncak Merapi.

Pukul 09:00 kami bersiap menuju ke basecamp barameru, di desa newselo, jaraknya kira-kira 7-8 km, rencana awal kami akan berjalan kaki, namun setelah ada kesempatan menaiki kendaraan pick up, join dengan rombongan dari Bintaro, kami memutuskan untuk naik pick up saja, mengingat fisik kami yang sudah lelah ditambah tekat kami untuk sampai di puncak Merapi.

20 Menit perjalanan di atas pick up, melewati desa-desa yang kontur jalannya naik turun, dan di kelilingi oleh hasil pertanian masyarakat sekitar. Kami semakin semangat untuk mendaki gunung Merapi. Setibanya di basecamp Barameru, kami menunaikan sarapan pagi, dan menyiapkan perbekalan, melanjutkan perjalanan bersama rombongan dari bintaro pukul 11:00.

Medan yang kami lalui sangat menguras tenaga, disamping tidak ada sumber air, tracknya nyaris tanpa flat (dataran). Tapi semua itu kami lalui dengan seru-seruan bersama teman dari bintaro, sehingga rasa lelah kami hilang seketika. Rencananya kita akan mendirikan tenda di pasar bubrah. Namun ternyata target kita di luar prediksi. Hari semakin larut dan kita masih berada di pos 2. Maka kita sepakat untuk mendirikan tenda di pos 2, dan melanjutkan summit esok hari.

Malam itu udara dinginnya tidak menusuk seperti kemarin, cuaca cerah, bintang-bintang berhamburan di langit. Kita masih sempat melihat kota jogya dari pos 2, barisan lampu-lampu kota yang menyala. Karena tenda kita di persatukan dengan tenda teman bintaro, maka yang bertugas memasak malam itu adalah teman-teman dari bintaro, dengan menu andalannya yaitu, semur jengkol, yuu nyami.

Hari ke empat :
Pagi telah tiba, sinar matahari menyingsing keluar dari tempat persembunyianya. Setelah sarapan untuk mengisi energi, saya, lunas, aisyah, bewok, dan kiki. Berdoa agar summit kali ini berjalan lancar, tanpa suatu halangan apapun. Tiba di puncak Garuda (puncak gunung merapi), pukul 10:00. Kami mengibarkan sang merah putih dengan gagah.

Setelah selesi berfoto-foto, kami turun menuju tenda. Kemudian makan siang dan bergegas turun ke basecamp barameru. Saya merasa sudah sangat lelah kepayah. Akirnya saya memutuskan untuk berjalan pelan di barisan paling belakang rombongan. Pelan tapi pasti itu motto saya. Tiba di basecamp barameru pukul 14:00. Menunggu jemputan pick up untuk diantar ke terminal boyolali.

Perlu diingat, perjalanan kami tidak terhenti di sini, kami akan melanjutkan perjalanan ini ke Yogyakarta, di jalan malioboro itulah tujuan kami selanjutnya. Setibanya di terminal boyolali, kami lantas menyewa mobil carteran dengan rombongan dari garut. Karena tujuan kami sama, ingin pergi ke jogya juga. Tiba di jl. Malioboro kami langsung bergegas turun dari trans, dan pergi mencari makan untuk dinner.

Nasi yang goreng adalah pilihan kami waktu itu, seperti biasa, kami kembali menghitung budget yang tersisa, dan ternyata budget kami semakin mengenaskan, duit yang tersisah hanya bisa dibuat naik bus saja. Malam itu, kami gelisah. Mencari-cari cara untuk alas tidur malam ini. Setelah lama berputar-putar akhirnya kami menemukan sebuah masjid di samping jalan.

Kami berniat untuk tidur semalam melepas lelah yang tak bisa di kompromi lagi, namun di masjid tersebut ada satpam yang berjaga, dan kami pun menemuinya untuk meminta izin singgah semalam. pak satpam menyetujuinya, dengan syarat menunjukkan KTP dan harus bangun ketika adzan subuh berkumandang, kamipun lekas menyetujui persyaratan satpam tersebut.

Hari ke lima :
Kami membersihkan badan yang lengket oleh keringat sejak 4 hari yang lalu, dan bersiap mengelilingi sudut-sudut kota Yogyakarta yang kental dengan budaya. Kami berjalan kaki dengan berfoto-foto di setiap bangungan yang menarik di sepanjang jalan. Langkah kami terhenti di halte trans, karena sudah waktunya kami pulang kerumah masing-masing.

Pukul 10:00 trans kami berangkat menuju terminal Giwangan, lantas kami melanjutkan perjalanan dengan menaiki bus Sugeng Rahayu tujuan Yogya-surabaya, dengan harga tiket 55 per orang. Tidak kami sia-siakan waktu dialam bus, kami beristirahat sepanjang hari di dalamnya. Karena perjalanan dari yogya ke Surabaya cukup menguras waktu, sekitar 8 jam perjalanan.

Tepat ketika Adzan isya kami tiba di terminal purabaya, kami bersyukur karena masih dapat kembali di kampung halaman dengan sehat, tanpa kurang apapun, kecuali duit. Karena yang terpenting dari esensi pendakian adalah berangkat sampai hinggs pulang dalam keadaan selamat. Dan restu orang tua itu memang sangat di andalkan, karena doanya selalu mengangkasa tanpa sekalipun kita minta, doanya lebih di dengar oleh sang maha kuasa.

Jadi, mendakilah kenapaun kalian mau, jelajahi alam Indonesia yang luas dan indah ini. Ambil pelajaran dari setiap perjalanan kalian, dan selalulah meminta restu kepada orang tua, agar perjalananmu semakin tenang dan berkah.



Kamis, 16 Juni 2016

Integritas Ilmuwan & Tanggung Jawab PT

Oleh: Ach. Syaiful A’la
Dosen FTK & Kandidat Doktor UIN Sunan Ampel Surabaya
Judul di atas sengaja penulis pilih dalam rangka “sedikit” refleksi bersama guna menjawab persoalan yang tengah dihadapi bangsa akhir-akhir ini sejak krisis moneter pada masa pemerintahan Orde Baru, krisis kepemimpinan disana-sini, konflik yang berbau SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), komunikasi politik yang tidak sehat hingga persoalan merebahnya kasus korupsi yang setiap hari terus menghiasi halaman depan media massa. Yang mengejutkan, jika kita saksikan yang terlibat dalam masalah-masalah (korupsi) tersebut bukanlah dari kalangan orang tidak berpendidikan, melainkan dari kalangan orang yang sudah berpendidikan tinggi, tentunya sudah tahu apa itu kebijakan dan bahkan sebagai alumni dari kampus yang terkenal. Dalam konteks ini, bahwa kemajuan pendidikan selama ini tidak berbanding lurus dengan persoalan yang sedang dihadapi bangsa dan bahkan menjadi “beban” dari perjalanan bangsa itu sendiri.
Problem Kebangsaan
Menarik ketika menyimak berita di beberapa koran yang mengusung kritikan beberapa perguruan tinggi terhadap Marzukie Ali yang membuat pernyataan – dianggap kontroversial – bahwa pelaku koruptor di negeri adalah alumni perguruan terkenal dalam sebuah acara seminar saat dirinya sebagai salah satu pembicara yang bertajuk “Pandangan Kritis tentang Pendidikan Tinggi di Indonesia: Cita dan Realita” yang diselenggarakan oleh Universitas Indonesia (Jawa Pos, 7/5/2012).
Sebagai lembaga pendidikan, perguruan tinggi tentunya tidak hanya memberikan, membuka dan memberikan jaminan peluang kerja kepada alumninya ditengah tuntutan dunia kerja dan pragmatisme dunia pendidikan, lebih dari itu institusi pendidikan tinggi disamping ikut menyumbangkan kemajuan dan pemerataan pendidikan di tanah air juga mempunyai tanggung jawab terhadap anak didiknya (mahasiswa) selama menempuh pendidikan hingga ia menekuni suatu bidang usaha atau karir tertentu. Karena sikap yang ditampilkan oleh alumni pada lembaga pendidikan merupakan cerminan atas kualitas dan budaya pendidikan pada lembaga tersebut (baca: Veitzal).
Ketika Marzukie Ali membuat pernyataan yang dianggap kontroversial, bahwa banyaknya pelaku koruptor saat ini merupakan lulusan –setidaknya pernah mengenyam- lembaga pendidikan tinggi tertentu itu memang tidak salah dan ada benarnya. Ini bisa dilihat latar belakang pendidikan dari pelaku penyelewengan kekayaan negara (koruptor) adalah orang-orang yang berpendidikan (mempunyai ijazah) tinggi. Dengan demikian berarti ada yang salah dengan praktek pendidikan kita di Indonesia.
Pendidikan Para Filosof
Dalam sebuah buku yang berjudul Philosophies Reflection for Education, karya Char Lee Tan, ia mengulas gaya pendidikan seorang filosof Yunani, Socrates ketika memberikan materi ajar kepada murid-muridnya. Maka terdapat tiga hal yang ditekankan untuk keberlangsungan pendidikan bagi anak didik dan generasi “baik” selanjutnya, yaitu: spiritual in student, virtues dan inquiry. Dalam konsep Socrates, penanaman kecerdasan hati (spiritual in student) terhadap anak didik menempati hal yang paling pertama dan utama dalam dunia pendidikan agar alumninya tidak menyimpang dengan garis yang memang menjadi tujuan dari pendidikan. Setelah penanaman spiritual sudah mapan, tahapan kedua adalah diajarkan dan ditanamkan nilai-nilai virtues (kebijakan) sebagai bentuk terjemahan dari yang pertama. Sementara prosesinquiry,seperti pengembangan aspek psikomotorik termasuk juga dengan keterampilan yang lain (skill) merupakan tahapan pendukung berikutnya setelah anak didik dimantapkan terlebih dulu hatinya dan masuknya nilai-nilai kebijaksanaan. Ketika penanam prinsip pada anak didik sudah kokoh, maka bisa dilanjutkan dengan beberapa pengembangan keilmuan yang lain.
Adanya kasus seperti korupsi di negeri ini yang dialakukan oleh pejabat yang berlatar pendidikan tinggi bukannya tidak tahu bahwa apa yang ia lakukan tidak benar dan merugikan orang lain (negara), tapi karena proses penanaman nilai-nilai spiritual dalam pendidikan mereka lemah sehingga melakukan kegiatan korupsi dianggap sebagai suatu hal yang legal dan sah menurut dirinya sendiri.
Proses pendidikan adalah perbaikan menuju manusia yang paripurna (insan kamil, fi al-ilmi wa al-amal), peka terhadap kondisi sosial, sebagai aktor perubahan (agent of change) dan menjadi kontrol terhadap kebijakan yang tidak pro terhadap rakyat serta berbagai macam ketimpangan dalam masyarakat. Dalam prakteknya, tidak sedikit (untuk tidak mengatakan banyak) lulusan pendidikan tinggi yang semakin jauh dari dasar tujuan dan fungsi pendidikan. Tujuan pendidikan menurut Paolo Preire adalah memanusiakan manusia, dengan pendidikan orang semakin tinggi derajatnya, memiliki kebebasan individu, semakin peka terhadap kondisi sosial masyarakat dan memiliki semangat pengabdian yang tinggi (baca: Fathullah Gulen tentang hizmet). Tetapi keluaran lembaga pendidikan kita jauh sebaliknya, mereka melakukan kebajikan layaknya orang yang tidak mengenyam pendidikan sama sekali. Padahal ketika terbukti melakukan kesalahan ia berasal dari latar belakang pendidikan tinggi seperti sarjana, magsiter, doktor bahkan ada yang profesor dan lembaga yang bisa dikatakan favorit.
Sanksi Lembaga pada Alumninya
Setiap lembaga pendidikan termasuk pendidikan tinggi tidak mungkin mengajari hal-hal yang negatif terhadap anak didiknya selama proses pendidikan karena itu telah keluar dari kodrat pendidikan secara umum. Para lulusan (ulumni) yang melakukan tindak korupsi berarti tidak bisa secara langsung menyalahkan lembaga sebagai penyelenggara pendidikan, tetapi perlu dilihat latar belakang mereka terlebih dahulu dari berbagai aspek.
Lembaga pendidikan termasuk juga perguruan tinggi hendaknya juga bertanggung jawab terhadap keberadaan alumninya. Ada semacam ikatan dan kontrol terhadap alumni agar ketika alumni melakukan suatu hal tindakan yang salah, maka lembaga bisa memberi peringatan terlebih dahulu. Taruhannya kalau sampai terjadi ada alumni sengaja berbuat suatu kejelekan maka jelas yang ternodai juga adalah citra lembaga di masyarakat. Dan orang akan menilai ketika banyak alumni dari suatu lembaga terjangkit banyak kasus maka proses pendidikan bisa dikatakan gagal dalam lembaga pendidikan dimaksud.
Sanksi lembaga terhadap para alumninya yang sengaja membuat lembaga tersebut tercemar akibat kesengajaan perbuatannya adalah dengan cara mencabut gelar akademik yang diperolehnya. Dengan demikian, akhirnya para alumni juga bisa hati-hati dan mikir untuk melakukan kebajikan karena berakibat terhadap citra lembaga tercintanya dan juga menjadi taruhan untuk karir dirinya selanjutnya. Adanya sanksi demikian bisa membuat orang jera dan tumbuh kesadaran bersama ditengah terpuruknya bangsa dalam multi krisis saat ini.
Dari Paradigma Objektif ke Subjektif
Munculnya problem secara spesifik oleh bangsa Indonesia itu sendiri sebagai dampak meningkatknya situasi ketidakadilan global sebagai akibat dari ideologi oppressif, exploitatif dan konsumeritis, telah terjadi bias ideologi dalam teori sosilogi, politik, pendidikan, dan semakin jauhnya ilmu-ilmu sosial turut menyelesaikan masalah kemanusiaan. Contoh dalam bidang pendidikan, jika semakn tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin peka terhadap kondisi social masyarakat malah terjadi yang sebaliknya. Ia justru menjauh dan semakin elitis. Dalam situasi demikian, kalangan professional (akademisi dan kelompok terdidik) hendaknya bisa merubah paradigma, yang semula menjaga jarak dengan realitas (objektif) kini saatnya berpihak kepada kepentingan-kepentingan masyarakat (subektif). Jika selama ini beberapa kegiatan akademik, seperti penelitian digunakan untuk kepentingan dirinya, tidak hanya melakukan berdebatan antara kualitatif dan kuantitatif, lebih dari itu bisa berubah menjadi Participatory Action Research (PAR) yang pada gilirannya akan terjadi sinergi antara ilmuan (di kampus) dan komunitasnya sehingga kalangan ilmuan bukan sesuatu yang asing kehadirannya di hadapan mereka.
Dari paradigma di atas, maka pengembangan keilmuan yang dibangun menekankan pada tarap “produksi” bukan hanya sekedar “reproduksi”. Maka, apa yang menjadi diskusi di kampus bisa playing program, sehingga semuastakeholder pendidikan tinggi yang ada (masyarakat, mahasiswa, orang tua peserta didik) saat ini tidak hanya sekedar pengguna (user) yang lepas kendali melainkan sebagai mitra dari lembaga pendidikan tinggi itu sendiri.
Referensi :http://www.uinsby.ac.id/kolom/id/19/integritas-ilmuwan-tanggung-jawab-pt

Refleksi Hari Ibu ; peran Ibu, antara ruang domestik dan ruang publik

Hj.Siti Azizah S.Ag M.Si
Dosen Sosiologi FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya
Setiap tanggal 22 Desember bangsa Indonesia memperingati hari Ibu s, sejarah Hari Ibu sendiri diawali dari adanya pertemuan para pejuang wanita dengan mengadakan Kongres Perempuan Indonesia I pada 22-25 Desember1928 di Yogyakarta yang bertujuan untuk menyatukan pikiran dalam berjuang menuju kemerdekaan dan memperbaiki nasib kaum perempuan Indonesia . Kongres tersebut dihadiri oleh sekitar 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatera. Hasil dari kongres tersebut salah satunya adalah membentuk Kongres Perempuan yang kita kenal sekarang dengan Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Hari Ibu ditetapkan tanggal 22 Desember melalui dekrit presiden Soekarno No 316 tahun 1959 dan dirayakan secara nasional setiap tahun.
Momentum Hari Ibu kita jadikan sebagai refleksi tentang peran perempuan dalam keluarga dan ruang publik. Pada dasawarsa terakhir ini dalam komunitas dan sektor tertentu perempuan telah mendapatkan tempat yang berarti di tengah masyarakat, tetapi secara makro perempuan masih berhadapan dengan berbagai masalah. Adanya persepsi tentang peran ganda seorang perempuan, walaupun dia bekerja di sector public tetapi tetap dituntut untuk menyediakan waktu di sector domestik yaitu peran sebagai ibu, sebagai isteri, dan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga lainnya tetap dibebankan kepada kaum perempuan.
Munculnya peran ganda perempuan sebenarnya bermula dari adanya pembagian kerja secara seksual yang mana peran perempuan pada sektor domestik sedangkan laki-laki pada sektor publik. Ketika perempuan mulai masuk ke sector publik maka muncullah peran ganda perempuan dengan segala permasalahannya, hal ini disebabkan karena walaupun perempuan telah masuk dalam dunia publik ia masih tetap mempunyai tanggung jawab penuh di sektor domestik. Jadi walaupun mereka bekerja di luar rumah , tetapi tugas-tugas rumah tangga tetap di pegang isteri, seorang suami dianggap tabu kalau harus mencuci, memasak ataupun mengasuh anak karena dianggap pekerjaan tersebut adalah pekerjaan perempuan.
Keterlibatan perempuan dalam ruang publik merupakan peran ganda yang bisa juga berarti beban ganda, seringkali dikatakan bahwa peran ganda dapat diatasi dengan proses pembagian kerja di sektor domestik antara suami dan isteri. Tetapi yang menjadi pertanyaan apakah kita bisa dengan mudah dapat melakukan proses domestifikasi terhadap laki-laki karena ini akan berbenturan dengan budaya yang sudah mengakar dalam masyarakat yaitu budaya patriakhi. Persoalan ini menurut Abdullah tidak sesederhana itu karena yang harus ditaklukkan dalam pengurangan beban perempuan tidak hanya laki-laki, tetapi juga keluarga luas dan masyarakat secara umum yang telah menerima pembagian peran berdasarkan gender sebagai realitas obyektif. Keterlibatan laki-laki dalam bidang publik dan perempuan dalam bidang domestik merupakan realitas obyektif yang telah diterima sebagai sesuatu yang baku. Usaha mengubah semua itu merupakan usaha mendekonstruksi bangunan sosial budaya yang kemudian membutuhkan kesadaran di dalam rekonstruksi obyektif yang baru. ( Irwin, Abdullah, 2001, 198). Dan tentunya perlu waktu yang panjang untuk merekonstruksi budaya tersebut dan juga harus ada kesadaran dari kaum laki-laki bahwa dalam keluarga antara suami dan isteri adalah mitra sejajar bukan hubungan secara hierarkis.
Secara biologis perempuan dan laki-laki adalah makhluk yang berbeda, perbedaan itu menghasilkan asumsi bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah, tidak berdaya dan mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap suami. Namun pada tataran realitas ternyata perempuan bukanlah makhluk yang lemah , ketika mereka harus menjalani dua pekerjaan secara sekaligus yaitu di sector publik dan domestik, tentunya mereka harus mempunyai tenaga yang ekstra kuat yang belum tentu dapat dilakukan oleh laki-laki, hampir 24   jam waktu mereka curahkan untuk menjalani dua pekerjaan tersebut. Seperti asumsi yang berkembang di era sekarang ini yang mengatakan bahwa perempuan yang ideal adalah perempuan yang mampu menjadi superwomen yaitu yang memiliki kapasitas dan kapabilitas yang dapat mengisi ruang publik dan domestik secara sempurna. Menjadi sangat tidak adil ketika perempuan harus menjalankan kedua peran tersebut secara sekaligus, sedangkan laki-laki kenapa tidak dituntut untuk memerankan peran yang sama seperti tuntutan terhadap perempuan?. Ketika kita menuntut hal yang sama terhadap laki-laki tentunya tidak dapat dilakukan dengan mudah dan perlu waktu yang cukup banyak untuk dapat merealisasikannya karena hal ini menyangkut budaya yang ada yang telah mengakar di tengah masyarakat.
Proses marginalisasi terhadap perempuan juga sangat dipengaruhi oleh institusi keluarga, sekolah, media massa. Dalam pendidikan tingkat dasar pada waktu dulu saja, kita telah menemukan banyak ketimpangan gender, entah di sengaja atau tidak.   Hal ini tercermin dalam pelajaran Bahasa Indonesia, yang sering memberikan ilustrasi ketimpangan gender, seperti “Budi membantu ayah di sawah, sedangkan Wati membantu ibu di dapur”. Ayah pergi ke kantor dan Ibu pergi ke Pasar. Pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di sebutkan bahwa tugas Ayah adalah mencari nafkah dan ibu mengurus rumah tangga. Secara implisit, pelajaran tersebut menyiratkan pesan perbedaan gender yang sangat mendasar antara laki-laki dan wanita dalam relitas sosial.
Ketimpangan gender sesungguhnya ditegaskan secara terus menerus oleh struktur sosial yang patriarkal. Wanita yang baik cenderung harus “mengalah , manut, nrimo dan pasrah” kepada suami dalam suatu struktur interaksi dalam keluarga. Istri yang yang sempurna seringkali digambarkan sebagai isteri yang selalu melayani dan mengabdi kepada suami nya, mengurus rumah tangga serta anak-anaknya. Ketika anak melakukan kesalahan maka yang seringkali disalahkan adalah ibunya yang dianggap tidak bisa mendidik anak. Kegiatan publik bukanlah dunia perempuan, dunia perempuan tetap dalam rumah tangga sehingga menjadi wanita ideal adalah menjadi ibu rumah tangga yang baik.
Di moment peringatan hari ibu ini , kita konstruksikan kembali bagaimana idealnya seorang perempuan atau ibu, kita perlu memberikan apresiasi kepada kaum ibu dan mendudukkan  mereka sebagai makhluk Tuhan yang paling berjasa dalam kehidupan kita. Dari kaum ibulah lahir generasi penerus bangsa dan kesuksesan seorang suami dalam karier juga ditunjang oleh peran seorang isteri. Peran seorang perempuan tentu sangat penting dalam keluarga, mereka sebagai madrasatul ‘ula, karena pendidikan anak, pertama didapat dari seorang ibu dari dalam kandungan sampai anak dilahirkan dan tumbuh kembang menjadi dewasa, namun   dalam mendidik anak tidak hanya tugas dan tanggung jawab ibu saja, tetapi dalam keluarga ayahpun mempunyai kewajiban yang sama dalam pendidikan anak. Tidak semestinya lagi peran domestik harus di kerjakan penuh oleh perempuan, sebagai makhluk Tuhan perempuan pun mempunyai hak yang sama di ruang publik, mereka berhak untuk meraih pendidikan yang tinggi, mereka berhak untuk mengembangkan diri dan mendapatkan pekerjaan di sector publik sama seperti laki-laki. Perempuan bukanlah the second people, karena secara kapabilitas perempuan tidak kalah dengan laki-laki.
Di zaman sekarang ini dengan adanya gerakan gender seharusnya ketimpangan gender tidak terjadi lagi, perempuan tidak harus selalu dinomerduakan. Perempuan dan laki-laki mempunyai potensi dan peluang yang sama dalam sektor publik dan sebagai mitra sejajar, potensi perempuan sebagai mitra sejajar laki-laki harus dimaknai sebagai kebersamaan dalam mengatur kehidupan bersama. Dalam Harmona Daulay dikatakan bahwa prinsip pembagian kerja secara seimbang adalah suatu prinsip adanya suatu hubungan yang egaliter antara suami dan isteri, pola pembagian kerja seperti ini tidak membedakan gender, tetapi tergantung pada kebutuhan dan tersedianya waktu yang tercurahkan. Pada hubungan ini proses kerjasama dan tolong menolong demikian kuatnya sehingga membentuk suatu tim yang kompak sehingga akan terjadi keharmonisan dan kesetaraan gender.
Referensi:http://www.uinsby.ac.id/kolom/id/10/refleksi-hari-ibu-peran-ibu-antara-ruang-domestik-dan-ruang-publik

PEMBAKAR SEMANGAT BUKAN PENGHAMBAT

فَقَٰتِلۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ لَا تُكَلَّفُ إِلَّا نَفۡسَكَۚ وَحَرِّضِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَۖ عَسَى ٱللَّهُ أَن يَكُفَّ بَأۡسَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْۚ وَٱللَّهُ أَشَدُّ بَأۡسٗا وَأَشَدُّ تَنكِيلٗا ٨٤
Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri. Kobarkanlah semangat para mukmin (untuk berperang). Mudah-mudahan Allah menolak serangan orang-orang yang kafir itu. Allah amat besar kekuatan dan amat keras siksaan(-Nya) (QS. An Nisa’ [04]:84).

            Untuk menjelaskan ayat ini, Anda harus mengaitkan dengan ayat sebelumnya, khususnya QS. An Nisa’ ayat 74:“Dan sungguh di antara kamu ada orang yang sangat berlambat-lambat (ke medan perang). Maka jika kamu ditimpa musibah ia berkata, "Sungguh Tuhan telah menganugerahkan nikmat kepada saya karena saya tidak ikut berperang bersama mereka.” Yang disebut dalam ayat 74 ini adalah penduduk Madinah yang bersikap dingin, bahkan secara terang-terangan menyatakan enggan memenuhi ajakan Nabi SAW ke medan perang Badar. Maka ayat ini turun untuk mengingatkan Nabi SAW agar tidak terpengaruh dengan sikap pasip mereka dan agar tetap berangkat perang sekalipun sendirian.  
            Betapa berat tugas dan tanggungjawab Nabi SAW. Ia tidak boleh mundur selangkahpun atau kehilangan semangat hanya karena ulah para pengecut. Sebab, tugas kepemimpinan dibebankan hanya kepada Nabi, bukan pada pundak orang lain. Menurut Ar Razi, ayat ini menunjukkan keperkasaan Nabi SAW, sebab andaikan tidak perkasa, tentu Allah SWT tidak menyuruh berangkat perang sendirian.
            Nabi SAW juga dikenal sebagai tauladan dan pembakar semangat para sahabat. Anda tentu ingat ucapan Nabi SAW yang terkenal untuk menyemangati tentara perang Uhud, ”Jika seorang Rasul telah mengenakan pakaian perang, pantang baginya menanggalkannya sebelum Allah SWT menentukan siapa yang menang di antara dua pasukan.”
            Ayat di atas juga ada kaitannya dengan QS. Ali Imran ayat 173 yang diturunkan Allah setelah perang Uhud. Pada saat itu, Abu Sufyan, tokoh pasukan kafir menantang Nabi untuk perang kembali tahun berikutnya. ”Baiklah, kita akan bertemu di medan Badar tahun depan insya-Allah,” jawab Nabi. Sebelum perang, Abu Sufyan menyuruh Nu’aim bin Mas’ud agar menakut-nakuti umat Islam bahwa 1.000 tentaranya siap menggilas mereka. Provokasi itu dilakukan Nu’aim dengan imbalan 10 ekor unta. Sebagian tentara muslim terpengaruh dan benar-benar menolak mengikuti Nabi. Melihat spirit para sahabat menurun, Nabi SAW bangkit membakar semangat mereka, ”Walladzi nafsi biyadihi (demi Allah yang menguasai diriku), saya akan tetap berangkat perang walaupun sendirian”. Nabi memanggil 70 pasukan yang setia dan berangkat ke perang Badar dengan membaca hasbunallah wani’mal wakil(cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah Pelindung Yang Terbaik).
Dalam Surat At Taubah ayat 40 disebutkan penyemangtan Nabi SAW kepada Abu Bakar r.a yang tinggal bersamanya di Gua Tsur selama 3 malam (1 Rabiul Awal tahun ke 53 dari kelahiran Nabi atau 24-09-622 M). Abu Bakar r.a ketakutan karena dari celah-celah gua, ia melihat kaki para algojo Mekah yang siap membunuh mereka berdua. Saat itulah, Nabi SAW menyemangati Abu Bakar r.a, “La tahzan innallaha ma’ana” (jangan cemas, sungguh Allah tetap bersama kita). 
Bagaimana cara Nabi SAW menyemangati 3.000 prajurit yang sedang membangun benteng dalam perang Khandaq melawan 10.000 pasukan kafir pimpinan Abu Sufyan? Atas usul Salman Al Farisi, mualaf berkebangsaan Persia, Nabi memutuskan membuat parit (khandaq) memanjang di sebelah selatan Madinah dari ujung barat sampai ke timur. Dalam penggalian selama 6 hari (Syawal 5 H/627 M) tersebut, beberapa tentara melapor kepada Nabi adanya batu besar. Jawaban Nabi SAW sangat mengagetkan, “Ana naaazil” (saya sendiri yang akan memecah batu itu). Muhammad bin ‘Allan As Shiddiqy menyebut ucapan Nabi itu sebagai targhiiban lil muslimin (penyemangat untuk kaum muslimin).
Benar, berangkatlah Rasulullah dengan perut yang terikat selendang berisikan batu untuk menahan lapar, karena sudah tiga hari tidak makan apapun. “Blaaar.” Pecahlah batu itu atas pukulan Nabi. Pada pukulan pertama, ada cahaya dari arah kota Syam (Syiria). Pada pukulan kedua, cahaya memancar dari arah Persia, dan pada pukulan terakhir, ada sinar dari arah Yaman. Semua cahaya itu menandakan ketiga kota itu akan segera dikuasai umat Islam.
Jabir bin Abdillah r.a tidak tega melihat Nabi (60 tahun) kelaparan. Ia minta ijin untuk pulang sebentar. ”Apa ada makanan di rumah?.” Istrinya menjawab, ”Hanya sedikit gandum dan seekor kambing.” Jabir lalu menyembelih kambing itu dan menumbuk gandum untuk menjadi adonan roti. Jabir berlari dan membisikkan sesuatu di telinga Nabi, ”Wahai Rasulullah, tersedia sedikit makanan untuk tuan dan 1 atau 2 orang.” Nabi lalu memintanya agar memberitahu istrinya agar tidak menurunkan panci dan mematikan tungku sebelum ia datang. Ternyata, Nabi datang dengan seribu orang. “Mengapa kamu tidak memberitahu persiapan makanan kami yang terbatas?,” kata istri setengah marah kepada sang suami. Nabi SAW pergi ke dapur dan memercikkan sedikit ludah ke dalam panci, mengambil masakan itu dan menyuguhkan sendiri kepada para sahabat, sampai semuanya kenyang. Baru setelah itu, Nabi SAW menyuruh istri Jabir bin Abdillah r.a untuk membagikan makanan sisanya untuk semua kaum muslimin. Inilah mukjizat Nabi, sekaligus ketauladanan, kerendahan hati dan penyemangatannya untuk umatnya  (Disarikan dari HR Al Bukhari dan Muslim dari Jabir bin Abdillah r.a).
            Tahukah Anda, hanya 20 % ucapan orang yang membakar semangat. Sisanya (90%) mematikannya. Jika Anda memberi seseorang barang berharga, tapi ia tidak memiliki semangat, maka sisa-sialah pemberian itu. Sebaliknya, jika Anda tidak memiliki barang berharga untuk diberikan kepada anak Anda atau siapapun, Anda tidak perlu bersedih selama Anda mamberikan SEMANGAT kepadanya. 

Referensi: (1) Muhammad Hasan Al Hamshy, Qur’an Wa Bayan ‘Ma’a Asbabin Nuzul Lis Suyuthy, Darur Rasyid, Damaskus- Beirut, tt. (2) Hamka, Tafsir Al Azhar, Juz 5,Pustaka Panjimas, Jakarta, 1985, p. 179 (3) M. Qureish Shihab, Al Misbah Vol 2, Penerbit Lenterera Hati, Jakarta, 2012, p. 643 (4) Ensiklopedie Islam (5) Majalah Aula No.2 Februari 1999, p. 46 (6) Ahmad Hadi, Persinggahan Para Malaikat, Penerbit Mizan, Bandung 1993, p. 25-33 (7) Moh. Ali Aziz, Bersiul di Tengah Badai, UIN Sunan Ampel Press, Surabaya, cet. I, 2015. (8) As Shiddiqy, Muhammad bin ‘Allan, Dalilul Falihin, Darul Kutub Al Ilmiyah, Bairut Libanon, tt.  (9) Al Nawawy, Abu Zakariya, Yahya bin Syaraf,  Riyadush Shalihin,  CV. Thoha Putra, Semarang, 1981.
Referensi: http://www.uinsby.ac.id/kolom/id/181/pembakar-semangat-bukan-penghambat

Rabu, 15 Juni 2016

Berharap Kemenag Benar-Benar Suci

Oleh : Dr Biyanto, Dosen Fak. Ushuludiin & Filsafat, UINSA Surabaya
KEMENTERIAN Agama (Kemenag) genap berusia 70 tahun pada 3 Januari 2016. Dalam usia yang sangat matang itu, Kemenag semestinya berbenah. Moto ”Ikhlas Beramal” harus menjadi spirit dalam memberikan pelayanan kepada umat. Kemenag juga harus benarbenar menunjukkan diri sebagai departemen ”suci”. Harapan tersebut penting karena publik mulai menyoal integritas Kemenag.
Integritas departemen ”suci” dipertanyakan seiring dengan munculnya kasus korupsi di Kemenag. Di antaranya adalah kasus korupsi pencetakan mushaf Alquran. Bayangkan, pencetakan kitab suci Alquran ternyata tidak luput dari perilaku koruptif. Kasus lain yang juga menyita perhatian publik adalah gratifikasi penerimaan honor jasa kepenghuluan di kantor urusan agama (KUA).
Puncaknya tentu saja kasus korupsi haji yang melibatkan mantan Menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali (SDA). Bahkan, SDA ditetapkan sebagai tersangka saat masih aktif menjabat Menag. Dalam lanjutan sidang kasus korupsi haji pada Rabu (23/12), SDA dinyatakan bersalah dan dituntut sebelas tahun penjara oleh jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
SDA semestinya banyak belajar pada kasus yang dialami mantan Menag Said Agil Husin Al Munawar yang menghadapi tuduhan korupsi dana abadi umat (DAU) dan biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH). Dalam persidangan yang digelar pada 2005, Said Agil dinyatakan bersalah dan diganjar lima tahun penjara. Beberapa kasus korupsi itu menunjukkan potret buram wajah Kemenag.
Pengelolaan dana penyelenggaraan ibadah haji memang sangat rawan diselewengkan. Terutama dana yang bersumber dari bunga setoran calon jamaah haji di bank-bank mitra Kemenag. Penyelewengan dana ibadah haji juga berpotensi terjadi pada pengadaan barang dan jasa seperti pakaian batik, tas, buku tuntunan ibadah, pemondokan, akomodasi, transportasi, serta katering.
Karena pejabatnya sering tersandung kasus korupsi, integritas Kemenag terus disorot. Padahal, KPK telah memberikan peringatan kepada Kemenag. Berdasar hasil survei integritas yang dilakukan KPK pada November 2011, Kemenag diposisikan di peringkat paling buncit. Survei dilakukan terhadap 98 instansi, meliputi 22 instansi pusat, 7 instansi vertikal, dan 69 instansi pemerintah daerah. Hasil survei menunjukkan bahwa indeks integritas Kemenag hanya 5,37, jauh di bawah integritas pusat yang mencapai 7,07.
Dengan nilai integritas yang rendah itu, artinya kasus korupsi masih banyak terjadi di Kemenag. Bukan hanya Kemenag tingkat pusat dan daerah, di level kecamatan pun praktik gratifikasi dengan mudah dapat dijumpai. Indikatornya antara lain adalah besaran biaya administrasi pernikahan di KUA yang tidak pernah menentu. Apalagi, penerimaan honor jasa kepenghuluan ternyata tidak masuk ke kas KUA, tapi menjadi sumber pendapatan penghulu.
Dana setoran calon jamaah haji yang melimpah juga menjadikan Kemenag sorotan publik. Apalagi jika menengok biaya haji yang ditetapkan pemerintah ternyata paling tinggi dibanding negara lain. Padahal, pelayanan yang diberikan pemerintah masih jauh dari memuaskan. Dampaknya, banyak keluhan yang dirasakan jamaah. Untung, jamaah haji tergolong penyabar dan nrimo ing pandum. Pelayanan yang ala kadarnya selama proses ibadah haji umum dianggap ujian.
Kasus korupsi pencetakan mushaf Alquran,gratifikasijasakepenghuluan di KUA, penyelewengan dana ibadah haji, dan hasil survei integritas KPK jelas telah mencoreng institusi Kemenag. Padahal, Kemenag diharapkan menjadi benteng dari kebobrokan moral bangsa. Sangat disayangkan, kasus korupsi dengan berbagai ekspresinya justru terjadi di Kemenag. Tidak mengherankan jika perspektif publik pada Kemenag berubah.
Pegawai Kemenag yang setiap hari mengurusi agama dianggap tidak mampu menjadi agen pemberantasan korupsi. Pertanyaannya,mengapaKemenagyang umumnya diisi orang yang berlatar belakang pendidikan agama justru terlibat kasus korupsi? Jawabnya, sangat mungkin oknum yang terlibat itu belum memahami kriteria tindakan yang bisa dikategorikan korupsi. Apalagi, modus korupsi ternyata sangat bervariasi. Ekspresi korupsi pun mewujud dalam banyak wajah ( multiface).
Realitas yang ada di tengah-tengah masyarakat menunjukkan betapa praktik korupsi telah disamarkan dengan banyak istilah. Misalnya, masyarakat mengenal istilah uang administrasi, uang tip, angpao, uang diam, uang bensin, uang pelicin, uang ketok, uang kopi, uang makan, uang pangkal, uang rokok, uang damai, uang di bawah meja, uang tahu sama tahu, dan uang lelah. Berbagai istilah di atas merupakan bagian dari ekspresi korupsi.
Publik jelas berharap keluarga besar Kemenag terus belajar pada kasus-kasus korupsi yang selama ini terjadi. Sebagai nakhoda departemen ”suci”, Menag Lukman Hakim Saifuddin yang berlatar belakang politikus-santri modern diharapkan bisa mewujudkan integritas di lingkungan Kemenag. Jika budaya berintegritas itu melekat dalam diri setiap pegawai dan pejabatnya, pada saatnya publik akan menyaksikan wajah Kemenag benar-benar suci.
Artikel ini sudah dimuat di Opini Jawa Pos4/1/2016
Referensi: http://www.uinsby.ac.id/kolom/id/153/berharap-kemenag-benar-benar-suci

Kekuasaan untuk Kemaslahatan

Oleh : Dra. Wahidah Zein Br Siregar, MA. Ph.D, Dosen Prodi Sosiologi, FISIP UINSA Surabaya
Beberapa waktu lalu saya mengantarkan seorang teman menuju bandar udara (bandara) Juanda, di terminal 2. Waktu itu hari masih pagi. Teman tersebut akan naik pesawat Garuda penerbangan pertama menuju Jakarta, pukul 5.25 WIB. Karenanya kami berangkat dari rumah jam 4 pagi. Kebetulan rumah saya memang berjarak sekitar 10 km dari bandara. Sehingga jika tidak ada rintangan apa-apa saya akan sampai di Bandara dalam waktu kurang dari 30 menit.
Hampir memasuki bandara, ternyata terjadi kemacetan di depan pintu masuk. Mobil-mobil antri untuk mengambil karcis parkir yang diambil melalui mesin. Tidak ada petugas yang mengambilkan karcis buat para supir, meskipun terkadang ada juga anggota marinir dengan seragam lorengnya yang khas membantu mengambilkannya. Beberapa kali saya mendapat pertolongan ini. Kebetulan memang cukup sering saya menjadi supir, mengantar atau menjemput keluarga atau teman di bandara ini.
Apa yang menjadi sumber kemacetan? Selain volume mobil yang banyak, ternyata satu dari dua mesin karcis mengalami kerusakan, sehingga semua mobil tertuju pada satu pintu masuk saja. Namun, semua mobil yang masuk tampaknya sabar menunggu antriannya tiba. Tetapi, tanpa disangka, dari sisi kiri saya, tiba-tiba sebuah mobil sedan berplat kendaraan dinas militer dengan warnanya yang khas melaju dengan kencang dan kasar berusaha menyalip mobil saya. Padahal saya sudah hampir mencapai mesin karcis parkir. Dia berusaha menerobos mendahului mobil saya, memotong antrian mobil yang panjang ini. Dia membuka jendela mobilnya, menjulurkan tangannya meminta agar bisa langsung mendekati mesin dan mengambil karcis. Saya tidak bisa melihat dengan jelas siapa supir mobil ini. Tetapi tentulah dia seorang anggota militer. Kalau tidak, tentu tidak boleh dia mengendarai mobil dinas militer tersebut.
Dengan mengelus dada saya memberi jalan padanya. Memberinya kesempatan untuk mendahului mobil saya. Saya berusaha untuk berpikir positif, pastilah dia sedang terburu-buru. Mungkin akan mengantar seseorang yang sangat tinggi kedudukannya, atau bisa jadi dia sedang sakit perut sehingga ingin cepat-cepat pergi ke toilet. Sebab, setelah mendapatkan karcis dia tetap melajukan mobilnya dengan kencang. 
Setelah mendrop teman saya di pintu keberangkatan, saya kembali menjalankan mobil menuju pintu keluar. Kali ini tidak terjadi antrian yang terlalu panjang karena ada empat pintu keluar parkir yang dibuka. Memang di terminal 2 ini, jumlah pintu keluar mobil lebih banyak dari pada pintu masuknya. Kalau saya tidak salah ada 5 pintu keluar, dan seperti yang saya jelaskan sebelumnya, hanya ada 2 pintu masuknya.
Mobil-mobil memilih pintu keluar sesuai dengan jalurnya masing-masing. Sayapun dengan tenang berusaha memilih pintu keluar yang sesuai dengan jalur mobil saya. Ada satu mobil saja di depan mobil saya menuju giliran saya untuk sampai pada loket pengembalian karcis. Tetapi, tiba-tiba saja, mobil sedan yang sama, yang memotong antrian ketika saya masuk ke bandara, tiba-tiba sudah berada di samping saya. Dia kembali memotong antrian untuk diberi kesempatan sampai di loket pengembalian karcis lebih dahulu. Kali ini saya tidak lagi bisa berpikir positif. Saya merasa kesal dan sedih. Bukan hanya karena dia memotong antrian saya tetapi sedih pada atribut-atribut kedinasan yang digunakan oleh supir tersebut. Yang paling jelas saya lihat adalah bahwa dia menggunakan mobil dinas militer (Tentara Nasional Indonesia). Saya merasakan supir tersebut sangatlah sombong. Atribut kedinasaannya digunakannya untuk menunjukkan kekuasaan, kekuatan kepada rakyat biasa seperti saya. Dia tidak perlu menghormati rakyat tetapi rakyatlah yang harus selalu menghormatinya, memberi kemudahan baginya dalam segala urusannya. Rakyat harus tunduk padanya, tanpa syarat. Dia dapat mengambil hak orang lain tanpa memperdulikan bagaimana perasaan orang yang diambil haknya itu. 
Mungkin terlalu jauh analogi yang saya kemukakan. Bisa jadi saya dianggap terlalu berlebihan dalam memberikan penilaian. Tetapi itulah yang saya rasakan saat itu. Fakta yang saya alami pagi itu membuat saya merenung bahwa masih cukup banyak orang yang belum menggunakan kekuasaannya untuk memberikan sebanyak mungkin kemanfaatan atau kemaslahatan bagi orang lainnya. Padahal kalau kita ingat hadits Rasulullah: “Barang siapa yang melihat sebuah kemungkaran, maka hendaklah dia mengubahnya dengan tangan (kekuasaan) yang dimilikinya. Jika ia tidak mampu, maka ubahlah dengan lisan (kata-kata)nya. Jika ia tetap tidak mampu maka hendaklah dia mencegah dengan hatinya, meskipun itu adalah selemah-lemahnya iman”. Jelas sekali dari Hadits Rasulullah tersebut, bahwa kekuasaan itu harus digunakan untuk mencegah terjadinya kemungkaran.
Tentu saja tidak semua pemilik kekuasaan menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan dirinya seperti apa yang telah saya jelaskan tadi. Ada juga mereka yang dengan kekuasaannya menolong orang lain. Seperti yang sudah saya sebutkan terkadang bapak marinir di Juanda menolong para supir untuk mengambilkan tiket parkir dari mesin di pintu masuk area bandara. Tetapi entah saya yang terlalu perasa, entah memang begitu kenyataannya, hanya sedikit dari mereka yang memiliki kekuasaan yang pernah saya jumpai bisa memahami bahwa kekuasaannya sebaiknya dipergunakan untuk memberi kemaslahatan pada siapa saja. Tidak hanya untuk dirinya. Bayangkan saja berapa besar kemanfaatan yang bisa diberikan oleh seorang ayah ketika kekuasaannya di keluarga digunakannya untuk memerintahkan anak-anaknya untuk berbuat kebaikan, melarang mereka untuk berbuat kejahatan dan seterusnya.
Saya berharap sekaligus berdo’a bahwa semua civitas akademika di universitas kita yang kita cintai bersama ini, khususnya pada mahasiswa yang sedang menimba ilmu, jika suatu hari mereka memiliki kekuasaan di bidang apapun itu, maka mereka dapat menggunakan kekuasaan itu untuk berbagai kemaslahatan. Mengutip salah satu definisi yang dikemukakan oleh Thomas M Magstadt dalam bukunya “Understanding Politics: Ideas, Institutions, and Issues” (Belmont, 2009:5), kekuasaan adalah “the ability of governments, and of governmental leaders, to make and enforce rules and to influence the behavior of individuals or groups…” kemampuan pemerintah-pemerintah atau pemimpin-pemimpin pemerintah untuk membuat atau menetapkan peraturan-peraturan dan untuk mempengaruhi sikap individu-individu atau kelompok-kelompok, tentu bisa dipahami betapa besar peran para pemimpim, mereka yang memiliki kekuasaan untuk menciptakan kebaikan, atau sebaliknya keburukan bagi lingkungannya, bagi orang-orang yang dipimpinnya. Para pemimpin harus bisa menunjukkan sikap yang baik, yang menghargai hak orang lain, yang menghormati hukum yang dibuatnya, jika ingin orang-orang yang berada dalam kepemimpinannya juga bersikap baik. Dengan demikian, sikap yang ditunjukkan oleh bapak anggota militer yang menggunakan mobil dinasnya, memotong jalur antrian mobil yang sudah teratur dengan sesuka hatinya, tentulah tidak patut untuk ditiru. 
Referensi: http://www.uinsby.ac.id/kolom/id/166/kekuasaan-untuk-kemaslahatan