Rabu, 15 Juni 2016

Merumuskan Visi Kelautan UIN Sunan Ampel

M Yunan Fahmi,MT, Dosen Prodi Ilmu Kelautan, FST UINSA

Sudah sedari kecil kita diajarkan dan ditanamkan bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Sebagai ilustrasi seberapa luas wilayah Indonesia, anda bisa potong peta Indonesia dan tempelkan di benua Eropa. Setidaknya, panjang Indonesia hampir sepanjang benua Eropa itu sendiri. Jika Pulau Weh di Aceh itu diletakkan di Irlandia maka Merauke akan berada di Turki. Di antara itu ada beberapa Negara besar seperti UK, Perancis, Italia, Jerman dan Yunani. Berdasarkan data terakhir, tercatat ada 13. 466 pulau di wilayah Indonesia, dengan panjang total garis pantainya adalah 95.181 km, sebagai perbandingan panjang keliling Bumi di khatulistiwa adalah sebesar 40.075, 017 km. Garis pantai yang dimiliki oleh Indonesia cukup untuk keliling bumi dua kali!
Dengan total wilayah yang sedemikian luas, Indonesia memiliki hampir semua kekayaan alam yang ada di bumi, baik itu kekayaan hayati maupun non hayati. Oleh karenaya, Indonesia mendapatkan predikat sebagai salah satu Negara dengan Mega biodiversitas, artinya Negara dengan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi.
Pembangunan Kelautan Indonesia antara Harapan dan Kenyataan
Sejarah mencatat bahwa masa-masa kejayaan Nusantara adalah ketika kita menguasai lautan, yakni di masa kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Setelah runtuhnya Majapahit dan diperparah dengan datangnya penjajah dari Eropa, kedaulatan kita di laut semakin terdesak. Nenek moyang kita yang secara fitrah merupakan pelaut seakan dikebiri dan dipaksa menjadi ‘manusia darat’.
Salah satu momen kebangkitan kita di bidang kelautan adalah pada saat Ir Juanda mengeluarkan deklarasi yang kemudian kita kenal sebagai “Deklarasi Juanda”. Akan tetapi sejak saat itu, ada masa-masa dimana perhatian dan kesadaran kita seakan terlena dan melupakan laut. Kita didoktrin bahwa Negara kita adalah Negara agraris, dimana pembangunan besar-besaran lebih menggunakan ‘paradigma pembangunan Negara benua’. Momen berikutnya muncul pada saat presiden Abdurahman Wahid membentuk Departemen Kelautan untuk pertama kalinya. Sejak saat itulah, paradigma pembangunan kelautan kita sedikit demi sedikit mulai dikembalikan ke jalan yang benar.
Pembangunan di bidang Kelautan terdiri dari beberapa aspek yang sangat penting yakni aspek ekologis, social-budaya-ekonomi, serta politik-pertahanan dan keamanan. Sedangkan beberapa sektor yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dalam pembangunan kelautan adalah sektor pemukiman, pertanian, kehutanan, perikanan, wisata, perhubungan dan industry.
Pada kenyataannya, perkembangan pembangunan masih belum menunjukkan sinergisitas antar aspek. Ambillah contoh peningkatan di aspek ekonomi yang seringkali malah kontraproduktif dengan aspek ekologis. Pencemaran lingkungan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya produktifitas. Pun demikian dengan aspek sosial dengan contoh pada kesenjangan ekonomi antara nelayan dan tengkulak. Hampir semua desa nelayan di seluruh kawasan Indonesia merupakan kawasan yang miskin, kumuh dan termarjinalkan. Hal ini tentu saja masih menjadi pekerjaan rumah yang sangat berat bagi mereka-mereka yang berkecimpung di bidang kelautan. Bagaimana mewujudkan kembali kejayaan bangsa melalui bidang kelautan.
UIN Sunan Ampel dan Kebangkitan Kelautan Nasional
Dengan dibukanya prodi Ilmu Kelautan, yang bernaung di bawah Fakultas Sains dan Teknologi, semakin memperkokoh pondasi dan memperluas peluang UIN Sunan Ampel untuk semakin banyak berkontribusi dalam pembangunan kelautan nasional. UIN Sunan Ampel diharapkan mampu menjawab tantangan yang selama ini dirasa masih belum mampu dijawab oleh kampus-kampus lain yang telah lebih dulu memiliki prodi kelautan.
Allah SWT telah memberikan isyarat tentang persoalan utama yang harus diselesaikan dalam konteks pembangunan secara keseluruhan di surat Ar-Rum ayat 41 yang artinya:
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”
Secara awam, kita bisa ambil pelajaran bahwa segala kerusakan yang terjadi di muka bumi ini, baik itu kerusakan secara ekologis maupun kerusakan secara moral-sosial adalah disebabkan ketidakcakapan kita sebagai khalifah di bumi. Bisa jadi kerusakan itu akibat ketidakmampuan kita membaca dan menerapkan ayat-ayat kauniyah dan qauliyah yang tersebar di muka bumi, sehingga teknologi yang kita ciptakan malah semakin merusak lingkungan dan sistem social-ekonomi yang kita terapkan semakin memperlebar jurang kesenjangan antara si kaya dan si miskin.
Tanggung jawab moral untuk menanggung dan memperbaiki segala kerusakan ini kiranya lebih layak disematkan pada setiap civitas akademika di UIN Sunan Ampel umumnya dan civitas akademika di fakultas Sains dan Teknologi pada umumnya. Kenapa demikian? Karena kita secara sadar telah mengikrarkan diri sebagai kampus yang mengintegrasikan nilai-nilai keislaman dengan nilai-nilai saintifik yang mana bisa jadi konsep ini tidak diusung oleh kampus lain yang lebih ‘sekuler’. Satu lagi yang perlu diingat adalah bahwa hanya UIN Sunan Ampel lah satu-satunya PTAIN di Indonesia yang memiliki prodi Ilmu Kelautan. Oleh karena itu kita memiliki pekerjaan rumah utama yang cukup berat yakni mengembalikan dan mempersiapkan insan-insan cendekia yang tak hanya cakap di kemampuan eksakta tapi juga memiliki empati yang tinggi dan aqidah yang kokoh.
Setelah kita sadari bahwa satu-satunya jalan mengembalikan kejayaan Nusantara di masa lalu adalah dengan kembali ke khitthah kita, kembali kepada fitrah atau jati diri kita sebagai Negara kepulauan dengan prioritas utama pembangunan adalah di bidang kelautan, maka perlu disusun sebuah visi UIN Sunan Ampel yang berorientasi pada pembangunan kelautan. Visi ini akan menjadi guidance atau acuan dan tujuan yang ingin dan harus kita capai yang akan dijabarkan dalam aksi-aksi nyata seperti contoh KKN di desa-desa pesisir, menggagas kurikulum bermuatan kelautan untuk usia dini, serta mengevaluasi praktik-praktik di lapangan yang kurang sesuai dengan aqidah islam.
Harlah ke-50 tahun UIN Sunan Ampel merupakan momen yang sangat pas dan sangat strategis jika kita ingin menginisiasi dan merumuskan visi tersebut. Tentunya hal ini memerlukan kelapangan hati dan kerja sama setiap civitas akademika UIN Sunan Ampel sebagai wujud aktualisasi nilai islam yang rahmatan lil alamin demi terwujudnya Indonesia yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur.
Wallahu a’lam bish shawab
Referensi:http://www.uinsby.ac.id/kolom/id/180/merumuskan-visi-kelautan-uin-sunan-ampel

0 komentar:

Posting Komentar