UINSA Newsroom, Sabtu (14/5/2016);
Hak untuk mendapat pendidikan bagi semua kalangan agaknya masih sebatas
impian. Sebab tidak sedikit anak bangsa yang terpaksa putus sekolah,
salah satunya akibat terkendala biaya. Padahal, pendidikan yang
bertujuan mencerdaskan bangsa menjadi kewajiban pemerintah yang telah
diamanatkan dalam UUD. Berkaca pada keresahan inilah Dewan Eksekutif
Mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (DEMA FTK) mengadakan Simposium
Pendidikan bertema ‘Jeritan Anak Bangsa Ditengah Hiruk Pikuk Pendidikan
Nasional’ di Gedung Sport Center and Multipurpose UIN Sunan Ampel
Surabaya, Kamis, 12 Mei 2016.
Simposium
yang digelar masih dalam rangka Hari Pendidikan Nasional ini sedianya
menghadirkan narasumber dari berbagai kalangan. Diantaranya, Drs. H.
Abd. Halim Iskandar, M.Pd, Ketua DPRD Prov Jatim sebagai Keynote
Speaker. Sedangkan sebagai narasumber dalam simposium yaitu Hj. Anik
Maslachah, M.Si., Anggota DPRD Prov Jatim, Dr Syaiful Rahman, MM, M.Pd.,
Kepala Dinas Pendidikan Prov Jatim, dan Listiyono Santoso, S.S.,
M.Hum., Pengarang Buku Epistemologi Kiri. Namun dua narasumber, yakni
Drs. H. Abd. Halim Iskandar dan Dr Syaiful Rahman berhalangan hadir.
Sementara
itu, mewakili jajaran panitia pelaksana, baik Alif Firdaus, Ketua
Panitia maupun Gubernur DEMA FTK, Fawaidul Makkiyah dalam sambutannya
berharap, kegiatan tersebut dapat memberikan kontribusi positif bagi
dunia pendidikan. Mereka menaruh harapan besar akan semakin membaiknya
sistem pendidikan di Indonesia.
Simposium
yang dimoderatori Nur Hakim S.Pd.I yang juga merupakan Demisoner
Presiden DEMA UIN Sunan Ampel Surabaya tersebut dibuka dengan penampilan
Teaterikal Hardiknas dari Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Teater Hastasa.
Mengkritisi sistem pendidikan Indonesia yang minim fasilitas serta
kacaunya tata nilai yang diajarkan.
Hj. Anik
Maslachah dalam kesempatan pertama simposium menyampaikan apresiasi
atas kritik konstruksif yang tersirat dalam teaterikal. Beliau menilai,
kritik konstruktif tetap penting selama dilakukan secara santun.
“Kami di legislatif memang memiliki kewenangan dalam hal Policy, Budget
hingga kontrol regulasi pendidikan. Akan tetapi, semua itu tidak akan
menghasilkan apa-apa tanpa kontribusi semua pihak. Pemerintah, keluarga,
instansi pendidikan, swasta, hingga perusahaan melalui CSR yang
dimiliki,” jelas Hj. Anik Maslachah.
Tak
lupa, beliau juga mengingatkan, peran terbesar tetaplah ada dalam
keluarga. Sebab, hampir 70 persen keseharian anak adalah bersama orang
tua. Sehingga pendidikan karakter anak embrionya berasal dari keluarga.
“Asumsinya
sederhana, andaikata dunia pendidikan kacau sekalipun, jika anak telah
memiliki basic pendidikan karakter yang kuat di keluarga maka ia akan
tetap tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan berkarakter,” terang Hj. Anik
Maslachah.
Disamping
itu, pandangan kritis terkait realitas dunia pendidikan juga
disampaikan Listiyono Santoso. Beliau menjelaskan, tidak satu negara pun
di dunia yang tidak menjadikan pendidikan sebagai garda terdepan
pembangunan peradaban. Sehingga penting mengelola pendidikan dengan
optimal dan sungguh-sungguh.
Beberapa
catatan pun diberikan Listiyono mengenai kondisi pendidikan Indonesia.
Pertama, bahwa pendidikan Indonesia masih dikelola setengah hati.
Terbukti dengan masih minimnya dukungan infrastruktur yang memadai.
Kedua, paradigma pendidikan pun belum jelas. Salah satu indikator dengan
terus berubahnya kurikulum pendidikan setiap kali terjadi pergantian
kepemimpinan.
“Hampir
setiap tahun yang selalu menjadi perdebatan hanyalah pendidikan dalam
tataran administratif. Satu-satunya negara yang melibatkan kepolisian
dalam ujian cuma Indonesia,” tutur Listiyono. Hal itu dinilai sebagai
wujud gagalnya pendidikan. Negara atau bahkan guru tidak cukup yakin
bahwa mereka telah mendidik siswanya dengan nilai kejujuran.
“Seseorang itu seharusnya belajar untuk menemukan value, nilai-nilai kehidupan yang berkaitan dengan karakter. Bukan sekedar skor, nilai matematis,” imbuh Listiyono.
Terakhir,
beliau juga menilai pendidikan Indonesai berjalan tanpa adanya filsafat
pendidikan. Filsafat pendidikan dianggap idealis tapi tidak realis.
Padahal, filsafat pendidikan menjadi penunjuk arah bagaimana pendidikan
dibentuk.
“Kita
merasa modern jika telah mengikuti gaya dan pemikiran western. Padahal
modernisasi berbeda dengan westernisasi. Kita menjadi modern karena
atribut, identitas. Atau apa yang kita sebut sebagai karakter,” pungkas
Listiyono. (Nur/Humas)
Referensi:http://www.uinsby.ac.id/news/id/12515/realitas-pendidikan-indonesia
0 komentar:
Posting Komentar