Senin, 13 Juni 2016

REALITAS PENDIDIKAN INDONESIA


UINSA Newsroom, Sabtu (14/5/2016); Hak untuk mendapat pendidikan bagi semua kalangan agaknya masih sebatas impian. Sebab tidak sedikit anak bangsa yang terpaksa putus sekolah, salah satunya akibat terkendala biaya. Padahal, pendidikan yang bertujuan mencerdaskan bangsa menjadi kewajiban pemerintah yang telah diamanatkan dalam UUD. Berkaca pada keresahan inilah Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (DEMA FTK) mengadakan Simposium Pendidikan bertema ‘Jeritan Anak Bangsa Ditengah Hiruk Pikuk Pendidikan Nasional’ di Gedung Sport Center and Multipurpose UIN Sunan Ampel Surabaya, Kamis, 12 Mei 2016.

Simposium yang digelar masih dalam rangka Hari Pendidikan Nasional ini sedianya menghadirkan narasumber dari berbagai kalangan. Diantaranya, Drs. H. Abd. Halim Iskandar, M.Pd, Ketua DPRD Prov Jatim sebagai Keynote Speaker. Sedangkan sebagai narasumber dalam simposium yaitu Hj. Anik Maslachah, M.Si., Anggota DPRD Prov Jatim, Dr Syaiful Rahman, MM, M.Pd., Kepala Dinas Pendidikan Prov Jatim, dan Listiyono Santoso, S.S., M.Hum., Pengarang Buku Epistemologi Kiri. Namun dua narasumber, yakni Drs. H. Abd. Halim Iskandar dan Dr Syaiful Rahman berhalangan hadir.

Sementara itu, mewakili jajaran panitia pelaksana, baik Alif Firdaus, Ketua Panitia maupun Gubernur DEMA FTK, Fawaidul Makkiyah dalam sambutannya berharap, kegiatan tersebut dapat memberikan kontribusi positif bagi dunia pendidikan. Mereka menaruh harapan besar akan semakin membaiknya sistem pendidikan di Indonesia.

Simposium yang dimoderatori Nur Hakim S.Pd.I yang juga merupakan Demisoner Presiden DEMA UIN Sunan Ampel Surabaya tersebut dibuka dengan penampilan Teaterikal Hardiknas dari Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Teater Hastasa. Mengkritisi sistem pendidikan Indonesia yang minim fasilitas serta kacaunya tata nilai yang diajarkan.

Hj. Anik Maslachah dalam kesempatan pertama simposium menyampaikan apresiasi atas kritik konstruksif yang tersirat dalam teaterikal. Beliau menilai, kritik konstruktif tetap penting selama dilakukan secara santun.

“Kami di legislatif memang memiliki kewenangan dalam hal Policy, Budget hingga kontrol regulasi pendidikan. Akan tetapi, semua itu tidak akan menghasilkan apa-apa tanpa kontribusi semua pihak. Pemerintah, keluarga, instansi pendidikan, swasta, hingga perusahaan melalui CSR yang dimiliki,” jelas Hj. Anik Maslachah.

Tak lupa, beliau juga mengingatkan, peran terbesar tetaplah ada dalam keluarga. Sebab, hampir 70 persen keseharian anak adalah bersama orang tua. Sehingga pendidikan karakter anak embrionya berasal dari keluarga.

“Asumsinya sederhana, andaikata dunia pendidikan kacau sekalipun, jika anak telah memiliki basic pendidikan karakter yang kuat di keluarga maka ia akan tetap tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan berkarakter,” terang Hj. Anik Maslachah.

Disamping itu, pandangan kritis terkait realitas dunia pendidikan juga disampaikan Listiyono Santoso. Beliau menjelaskan, tidak satu negara pun di dunia yang tidak menjadikan pendidikan sebagai garda terdepan pembangunan peradaban. Sehingga penting mengelola pendidikan dengan optimal dan sungguh-sungguh.

Beberapa catatan pun diberikan Listiyono mengenai kondisi pendidikan Indonesia. Pertama, bahwa pendidikan Indonesia masih dikelola setengah hati. Terbukti dengan masih minimnya dukungan infrastruktur yang memadai. Kedua, paradigma pendidikan pun belum jelas. Salah satu indikator dengan terus berubahnya kurikulum pendidikan setiap kali terjadi pergantian kepemimpinan.

“Hampir setiap tahun yang selalu menjadi perdebatan hanyalah pendidikan dalam tataran administratif. Satu-satunya negara yang melibatkan kepolisian dalam ujian cuma Indonesia,” tutur Listiyono. Hal itu dinilai sebagai wujud gagalnya pendidikan. Negara atau bahkan guru tidak cukup yakin bahwa mereka telah mendidik siswanya dengan nilai kejujuran.

“Seseorang itu seharusnya belajar untuk menemukan value, nilai-nilai kehidupan yang berkaitan dengan karakter. Bukan sekedar skor, nilai matematis,” imbuh Listiyono.

Terakhir, beliau juga menilai pendidikan Indonesai berjalan tanpa adanya filsafat pendidikan. Filsafat pendidikan dianggap idealis tapi tidak realis. Padahal, filsafat pendidikan menjadi penunjuk arah bagaimana pendidikan dibentuk.

“Kita merasa modern jika telah mengikuti gaya dan pemikiran western. Padahal modernisasi berbeda dengan westernisasi. Kita menjadi modern karena atribut, identitas. Atau apa yang kita sebut sebagai karakter,” pungkas Listiyono. (Nur/Humas)

Referensi:http://www.uinsby.ac.id/news/id/12515/realitas-pendidikan-indonesia

0 komentar:

Posting Komentar