Selasa, 14 Juni 2016

Mythomania, Jessica dan Anggota Dewan

Oleh: Dr Lilik Huriyah
Sekretaris Program Doktor PAI Pascasarjana UINSA Surabaya.
Pada 1905, Ferdinand Dupre kali pertama melontarkan istilah mythomania. Pengertian sederhananya, mythomania adalah kecenderungan seseorang untuk berbohong – bahkan untuk sesuatu yang sesungguhnya sama sekali tak dibutuhkan berbohong. Seorang mythomaniac berbuat bohong lebih didorong untuk memperoleh pengakuan masyarakat, serta untuk meyakinkan dirinya demi mempercayai imajinasi yang telah diciptanya sendiri.
Pembohong pada umumnya, mereka menyadari bahwa dirinya sedang berbohong. Namun seorang mythomaniac tak sepenuhnya menyadari kalau dirinya sedang berbohong. Sebab baginya, tak gampang membedakan antara “nyata” yang berasal dari khayalan dan nyata yang fakta. Sehingga perilaku bohongnya tersebut, justru ditujukan untuk lebih meyakinkan masyarakat terhadap “imajinasi-realitas” hasil rekayasanya.
Menariknya, seorang mythomaniac sanggup menebar aura dan pesona untuk “menghipnotis” orang lain agar mempercayai yang dituturkan. Dia sangat piawai merangkai kalimat yang mengikat dan sikap yang memikat demi menyatakan “kejujuran fakta” hasil rekaan imajinya. Ketika cerita bohong tersebut mulai tersudut, dia gampang berkelit dengan memberikan alasan-alasan yang argumentatif-manipulatif – lengkap dengan “fakta” pendukung demi memperkuat alibinya.
Yang mengerikan, pada saat kebohongannya terbongkar seorang mythomaniac akan lepas kendali berbuat nekat. Seperti yang dialami Jean-Claude Romand di tahun 1990-an. Selama 20 tahun dirinya mengelabuhi orang-orang sekeliling, dengan menceritakan bahwa dirinya adalah seorang dokter. Namun ketika istrinya mengetahui kebohongannya, Jean-Claude Romand membunuhh istri dan bahkan anak-anaknya sekaligus.
Lantas, apakah salah jika kita menelaah kasus Jessica dari perspektif mythomaniac? Saya rasa, itu hak analisis setiap orang. Namun tentunya tak elok jika menuduh bahwa Jessica adalah seorang mythomaniac. Sebab ada ciri-ciri seorang mythomaniac yang tak berkesesuaian dengan watak Jessica.
Biarlah Jessica menjadi urusan ahli psikologi forensik pihak kepolisian. Sebab tak pantas mendahului pihak-pihak terkait yang kini masih menangani kasus “Kopi Maut” tersebut. Apalagi secara psikologis – seperti yang pernah dituturkan Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia Prof. Sarlito Wirawan, bahwa secara inteligensi Jessica cerdas dan secara kepribadian sehat.
Terlepas dari hal itu, untuk mengakui sebuah kebohongan memang bukanlah pekerjaan gampang. Pun untuk hal-hal kecil dalam hidup keseharian sekalipun. Seseorang yang telah berperilaku bohong, dirinya akan teguh mempertahankan kebohongan tersebut. Dengan beragam bentuk rekayasa dirinya rela melakukan apa saja demi dianggap sebagai orang yang tak berbohong. Bukankah seseorang yang sekali berbohong, maka dia akan berbohong untuk kedua kalinya demi menutupi supaya tidak dianggap sebagai pembohong? – dan begitu seterusnya.
Namun yang perlu digarisbawahi, kebohongan yang dilakukan seseorang secara personal akibatnya hanya ditanggung oleh orang-orang yang dibohongi – dan yang terkait dengan itu. Lain halnya jika yang melakukan tindak kebohongan tersebut, adalah seorang anggota dewan misalnya. Sebab dia adalah publik figur yang dipilih dan sekaligus menjadi teladan masyarakat.
Namun sayangnya, hingga kini – tanpa perlu menyebut nama anggota DPR orang perorang – berita tentang kebohongan Anggota Dewan yang Terhormat masih kerap saja terjadi. Ia menjadi tema obrolan yang tak kunjung usai; baik di berbagai media massa, di ruang-ruang diskusi, hingga merebak di obrolan warung kopi. Kita berharap hasil survey yang pernah dirilis Indonesia Network Election Survey (INES) tentang kebohongan anggota DPR hasil pemilu 2009 tak terulang lagi. Sebab jumlahnya cukup miris; 89,3 persen anggota dewan dinilai masyarakat sebagai orang tidak jujur alias “tukang boong”.
Alat tes mekanik yang mendeteksi kebohongan memang makin canggih. Deteksi pertanyaan-pertanyaan dari sisi psikologi forensik, juga kian piawai disusun. Pengamatan mulai dari sudut mata, ekspresi wajah, gerak-gerik bahasa tubuh hingga irama dan nada bicara serta struktur kalimatnya, tak kalah apiknya ditata dan ditelaah. Namun untuk mengelabuhi itu semua, bukanlah persoalan rumit bagi seorang pembohong sejati.
Yang tak gampang dibohongi, adalah hati nurani masyarakat. Bagi masyarakat yang berhatinurani, semuanya itu sederhana saja. Seperti halnya sebuah cermin; kalau Anda menebar kebaikan, masyarakat akan menabur kebaikan pula. Jika Anda menghormatinya, mereka akan menghormatimu jua. Tapi kalau Anda justru membohonginya, ingatlah adagium ini: “Sepandai-pandai Anggota Dewan yang Terhormat melompat, akhirnya jatuh juga ke tanah kenyataan!”
Dus, tak perlu berbohong sepanjang waktu. Tak usah menyuguhkan dagelan komedi kepalsuan lagi. Sebab kita berharap, agar gedung dewan yang agung itu tak dipenuhi anggota-anggota yang terhormat tapi mythomaniac! 

Artikel ini telah dimuat di Jawa Pos tanggal 3 Maret 2016.
Referensi:http://www.uinsby.ac.id/kolom/id/163/mythomania-jessica-dan-anggota-dewan

0 komentar:

Posting Komentar